Makalah Al Jarh Wa Ta'dil

 on Saturday, 3 January 2015  


Melihat Sejarah, Pengertian Dan Fungsi Al Jarh Wa Ta’dil

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
 Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadistidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.

Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal demikan dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah akan membahas mengenai Imu al  jarh wa ta'dil.

B.       Rumusan Masalah
  1. Apakah yang dimaksud dengan al jar dan wa ta’dil ?
  2. Apakah kegunaan ilmu al jar wa ta’dil ?
  3. Bagaimanakah sejarah timbulnya al jar wa ta’dil ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian dan Kegunaaan
 Lafad "al-jarh" menurut muhaditsin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan hapalannya. Men-jarh seorang rawi berarti mensifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut men-ta'dilkannya.[1]
  Ilmu al-jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh dengan:
الطعن فى راوى الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه
"Kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keaiban atau kedhabitan perawi".[2]
             Sedangkan menurut istilah ahli hadis, adalah:
ظهور وصف فى الراوى يفسد عدالة أو يخل بحفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوط روايته أو ضعفها وردها.
"Nampak suatu sifat pada rawi yang merusakan keadilannya, atau mencedarakan hafadahnya, karenanya gugurah riwayatnya atau dipandang lemah".[3]
 Adapun at-Ta'dil secara bahasa berarti At-Taswiyah (menyamakan),dan menurut istilah adalah:
عكسه هو تزكية الراوى والحكم عليه بأنه عدل أو ضابط.
"Yaitu lawan dari al-jarh, yang berarti pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil atau dhabit".
            Ahli hadis mendefinisikan at-ta'dil sebagi berikut:
الإعتراف بعدالته الراوى وضبطه وثقته.
"Mengakui keadilan seseorang, kedhabitan, dan kepercayaan".
Lebih jelasnya, ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh wa al- Ta;dil".
Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها.
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya".[4]
            Ulama lain mendefinisikan al-jarh wa al Ta'dil dengan:
علم يبحث عن الرواة من حيث ما ورد فى شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
"Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau mebersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafadz tertentu".[5]

B.        Kegunaan Ilmu Al jarh wa Ta'dil
Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.[6]
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh  dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:[7]
1.    Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
2.    Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini.

C.       Sejarah Timbulnya Al jarh wa Ta'dil dan Ulamanya
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui hadist-hadist yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaannya hingga dapatlah merasa membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.[8]
Karena itu para ulama menanyakan kadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiyah mereka, hingga mengetahui siapa yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan orang yang lebih lama nenyertai guru. Para ulama hadist yang telah menempatkan lafadz-lafadz ta'dil yaiitu: Ibn, Al Abi Hatim, Ibn Sholah dan An Nawawi Adz-Dzahabi Hafidz Ibn Hajar. Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam.
Mengenai jumlah ahli yang melakukan jarh dan ta'dil, menurut pendapat yang dipandang benar bahwa jarh dan ta'dil bisa dilakukan oleh seorang ahli. Ada yang berpendapat harus dilakukan oleh dua orang ahli. Ketika jarh dan ta'dil berkumpul berada pada diri seorang rawi, maka jarh pada diri rawi itu lebih dulu dilakukan. Namun ada yang berpendapat, jika banyak para ahli yang menta'dilnya, maka ta'dil lebih dulu dilakukan.[9]

D.       Tingkatan Al Jarh Wa Ta'dil
Keadilan dan kecacatan seorang perawi itu sangat penting sekali untuk kita ketahui, sebagaimana Ibn Hatim dalam muqadimah kitabnya al-jarh wa al- Ta'dil  membagi tingkatan jarh wa ta'dil  ke dalam empat tingkatan dan menjelaskan hukum setiap tingkatannya, maka jadilah tingkatan jarh wa ta'dil itu enam tingkatan:[10]
  1. Tingkatan ta'dil dan lafadznya
a.    Lafadz yang menunjukan pada mubalaghah (sangat) dalam kepercayaan atau dengan menggunakan wazan af'ala, dan ini merupakan tingkatan teratas. Contoh: "orang yang paling teguh hati dan lidahnya"  "orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya"
b.    Lafadz yang diperkuat dengan satu sifat atau lebih dari sifat-sfat tsiqah, seperti: "orang yang tsiqah (lagi) tsiqah"  " orang yang teguh (lagi) tsiqah"
c.    Menunjuk keadilan dengan satu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, misalnya: "orang yang menyakinkan ilmunya"
d.   Menunjuk keadilan dan kedhabitan, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti yang kuat ingatan dan adil (tsiqah) misalnya:" orang yang tidak cacat" "orang yang sangat jujur"
e.     Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan,  misalnya: "orang yang bagus hadisnya"
Hukum tingkatan ini: a) tiga tingkatan pertama bisa dipakai landasan (hujjah) dengan sendirinya walaupun ada yang lebih kuat dari pada itu; b) untuk tingkatan yang keempat dan kelima tidak bisa dipakai sebagai hujjah dengan sendirinya akan tetapi hadisnya diabadikan dan diperhitungkan; c) adapun tigkatan yang keenam tidak bisa dipakai sebagai hujjah dengan sendirinya tetapi hadisnya ditulis hanya ungkapan saja dan tidak bisa diperhitungkan (ada kesempatan untuk diterma) hal itu jelas sekai tidak ada dhabit disana.

  1. Tingkatan al-jarh (cacat) dan lafadznya
a.       Lafadz yang menunjukan pada kelemahan.
b.      Lafadz yang dijelaskan dengan ketidakadahujjahan atau yang semisalnya.
c.       Lafadz yang dijelaskan dengan tidak ada penuisan hadis.
d.      Lafadz yang mengandung penuduhan kebohongan atau yang lainnya.
e.       Lafadz yang menunjukan kebohongan.
f.       Lafadz yang menunjukan pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan
g.      lafadz ynag berbentuk af'al al tafdil.
Hukum tingkatan ini adalah a) yang termasuk dua martabat pertama tidak bisa dipakai hujjah hadisnya sama sekali tetapi hadisnya ditulis hanya sebagai kata-kata saja; b) adapun empat tingkatan selanjutnya tidak bisa dipakai hujjah dan tidak bisa ditulis untuk apapun.[11]

E.        Perbedaan kritik Rijal al- Hadis dan kitab-kitabnya
Perselisihan para ulama tentang menerima periwayatan keadilan seseorang perawi, atau pernyataan ketidakadilannya, yang dilakukan oleh seorang ahli yang mengetahui sebab-sebab jarh dan sebab-sebab ta'dil tanpa menerangkan sebab tercacatnya orang yang dicacat itu, atau sebab keadilan perawi yang dipandang adil itu. Dalam hal ini mereka mempunyai empat pendapat:
1. Diterima tarjih dan ta'dilnya apabila diberikan oleh yang sifat-sifatnya sebagai yang telah diterangkan itu, walaupun tidak diterangkan sebab;
2.  Tidak diterima tarjih dan ta'dil terkecuali apabila diterangkan sebab-sebabnya.
3. Diterima tajrih (jarh) walaupun tidak diterangkan sebab-sebabnya tetapi tidak diterima ta'dil melainkan dengan diterangkan sebab-sebabnya.
4. Diterima ta'dil dengan tidak menyebaut sebab, tidak diterima tajrih tekecuali dengan menyebut sebab.
Hukum terhadap hadis, baik itu shahih atau dhaif berdasarkan atas keadilan perawi serta kedhabitannya / cacat keadilan rawi serta cacat kdhabitannya. Oleh karena itu para ulama berinisiatif untuk menyusun kitab tentang penjelasan keadilan perawi dan kedhabitannya yang diambil dari ulama-ulama yang adil dan terpercaya. Dan inilah yang dinamakan dengan ta'dil. Begitu juga dengan kitab tersebut dijelaskan kecacatan yang dihadapkan pada keadilan seorang rawi atau terhadap kedhabitannya, hafalannya, yang diambil dari imam-imam yang tidak fanatik dan ini yang disebut jarh. Dari dua latar belakang tersebut tersusunlah sebuah buku dengan nama Jarh wa al- ta'dil.
       Macam-macam kitab Jarh wa al ta'dil banyak sekali, diantaranya:
1.  Kitab yang hanya menjelskan ketsiqahan perawi.
2.  Buku yang hanya menjelaskan kelemahan dan kecacatan perawi.
3. Buku yang menjelaskan ketsiqahan dan kelemahan rawi, dari asfek lain, sebagian kitab tentang Jarh wa al- Ta'dil umumnya menceritakan para perawi hadis mengesampingkan penilaian terhadap tokoh-tokoh buku.
4.  Buku-buku yang secara khusus menjelaskan biografi perawi hadis.
Diantara kitab-kitabnya itu antara lain sebagai berikut:
a.    Ma'rifat ar- Rijal, karya Yahya Ibni Main. Berada di Darul kutub Adh- Dhahiriyah.
b.    Al- Dhua'fa, karya Imam Muhammad bin Ismail Al- Bukhary (194-252 H.), dicetak di Hindia tahun 320 H.
c.    Al-Jarhu wa at Ta'dil, karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy.
d.   Al-Tsiqat, karya Ibnu Hatim bin Hibban al- Busty. Naskah aslinya di Darul kutub al- Mishriyyah.
e.    Mizan al-I'tidal, karya Imam Syamuddin Muhammad adz- Dzahaby.
f.     Lisan al- Mizan, karya al- Hafidz Ibnu Hajar al- Asqalany, dicetak di India tahun 1329-1331H
g.    Tahdib al- Tahdib, karya Ibnu Hajar.
h.    Al- Kamal fi Asma ar- Rijal, karya Abdul Ghani Mudadisy.
Kritikan terhadap para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yag tercela. Hal-hal yang demikian dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk mengenali keadaan perawi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis. Disinilah peranan ilmu jarh wa al Ta'dil untuk membantu para genersi pelajar hadis dalam mempelajari hadis lebih dalam dan menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Ilmu al jarh wa ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan atau lafadz tertentu.
Ilmu al jarh wa ta’dil di butuhkan oleh para ulama hadis karena dengan ilmu ini akan dapat di pisahkan, mana informasi yang benar datang dari Nabi dan mana yang bukan. Oleh karena itu, ilmu ala jarrh wa ta’dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya.  


DAFTAR PUSTAKA

Rahman Fatchur, "Ikhtisar Muushthalah Hadis"  Bandung: PT Ma'arif- Offset.
Suparta Munzier, "Ilmu Hadis", Jakarta: PT RajaGrafindo, Persada.
Ash Shidieqy Hasbi, "Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis", jil. II Jakarta: Bulan Bintang.
At- Thahan Mahmud, "Metode Takhrij dan penelitian sanad hadis", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995.
An Nawawi Imam, "Dasar-Dasar Ilmu Hadist", Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al- Thahan Muhammad, "Taisir Musthalah al- hadis".
Mudasir, “Ilmu Hadits”, Bandung: Pustaka Setia, 1999.


[1] Drs. Fatchur Rahman,  “Ikhtisar Muushthalah Hadits”  Bandung: PT Ma’arif  Offset, hal:268
[2] Mudasir, “Ilmu Hadits”, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal:50
[3] TM. Hasbi Ash Shiddiqy, “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits”, jil. II Jakarta: Bulan Bintang, hal:204
[4] Drs. Fatchur Rahman,”ibid”, hal:268
[5] Mudasir, “ibid”, hal:51
[6] Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995,  ha:100
[7] Drs. Munzier Suparta, “Ilmu Hadits”, Jakarta:PT Raja Grafindo, Persada,  hal:33
[8] TM Hasbi  Ash Shidiqqy,”ibid”, hal:206
[9] Imam an Nawawi ,”Dasar-Dasar Ilmu Hadits”, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal:40
[10] Muhammad al- Thahan, “Tafsir Musthalah al- Hadits”, hal:152
[11] Muhammad al-Thahan ,”ibid”, hal:153-154
Makalah Al Jarh Wa Ta'dil 4.5 5 Unknown Saturday, 3 January 2015 Melihat Sejarah, Pengertian Dan Fungsi Al Jarh Wa Ta’dil BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Masalah   Tidak semua h...


No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.