Makalah Maqamat Wara' dalam Tasawwuf

 on Wednesday, 15 April 2015  



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latara Belakang
Islam merupakan satu-satunya agama Allah swt, yang tidak mungkin, akan di terima agama seorang hamba baik dari kalangan insan maupun jin melainkan harus beragama Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam surah Al-Imraan ayat 85
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
Berdasarkan ayat tersebut, jelaslah Allah telah memberitahukan kepada hambaNya untuk memilih jalan yang benar, jalan yang diridhai, hingga pada akhirnya islam memberikan petunjuk melalui Al-Quran agar umat manusia yang mengikuti tuntunan dan ajaranNya akan selamat.
Alquran sebagai sebuah pedoman hidup telah memberikan peluang kepada manusia untuk menganalisis, mempersepsi, melakukan penafsiran dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan utnuk mengungkap makna dan kandungannya. Olehnya itu, muncullah bermacam-macam metode tafsir sebagai jalan untuk membedah makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan Al-Quran tersebut. Usaha menfasirkan Al-Quran adalah agar teks-teks al-Quran menjadi relevan dan sesuai dengan konteksnya. Salah satu pendekatan dalam penafsiran adalah pendekatan historis filosofis dan mistis. Kedua pendekatan tersebut, yakni historis dan mistis dianggap sebagai metode tafsir sufi dalam bentuk respon intelektual dan realitas sosial[1].
Dalam dunia sufi, tentu erat kaitannya dengan tasawuf, yang mana tasawuf merupakan satu cabang keilmuan dalam islam, atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah saw meninggal dunia.
Sebagaimana bahwa tasawuf adalah bagian dari syari’at islam, maka sudah barang tentu semua hal yang berkaitan dengan perilaku sufistik didasarkan kepada al-Qur’an , al-Hadis dan perilaku sahabat Nabi saw, baik yang menyangkut tingkatan (maqam) maupun keadaan jiwa (hal)[2].
Maqam adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi. Contoh maqam adalah taubat, zuhud, wara’, faqr, shabar, rdha, dan sebagainya. Suatu maqam tidak lain adalah merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Inilah yang membedakannya dengan keadaan spiritual.
Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam yang lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam tersebut. Dan dalam pembahasan di bawah ini akan dibahas tentang wara’, yang merupakan rangkaian dari salah satu maqam dalam dunia tasawuf. Dalam dunia tasawuf, ada sebuah maqam/tahapan-tahapan menuju puncak manusia sebagai insan kamil.
Wara’ merupakan sebuah tingkatan dalam tasawuf yang menurut sebagian orang rendah namun dalam penerapannya sangat sulit. Ini dikarenakan hal-hal yang termasuk dalam lingkup wara’ cenderung terabaikan, misalnya menjauhi hal-hal yang subhat (belum jelas hukumnya).
Wara’ menjadi penting untuk dibicarakan mengingat wara’ sendiri mempunyai ruanglingkup dan persoalan yang berkaitan erat dengan tindakan atau tingkah laku seseorang baik lahir maupun batin, yang ingin mendekatkan dirinya pada keridhaan Allah swt, agar pengabdian seorang manusia betul-betul maksimal dan terjaga dari segalah hal sekecil apapun yang mengakibatkan kegagalan dalam pengabdian.
Dalam konteks kekinian, banyak orang yang dengan mudah mengabaikan hal-hal sepele namun menyebabkan dampak tidak baik yang luar biasa, misalnya saja soal syubhat yang tersebut di atas. Untuk mengantisipasi dan memperbaiki diri dalam kedekatannya dengan sang Kholik, maka dari itu penting bagi seseorang untuk mempelajari Wara’ dan menjalankannya sebagai bagain dari proses hidup menuju asal penciptaan manusia, yakni sebagai Khalifatullah.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis ingin membahas tentang wara’ yang tartuang dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa itu Wara’?
2.      Bagaimana Wara Menurut Para Imam?
3.      Apa Dasar-Dasar mengerjakan Wara’?
4.      Bagaimana Tahapan dalam melakukan Wara’?
5.      Sifat-Sifat Wara’?
6.      Bagaimana Tingkatan Wara’?
7.      Seperti Apa Ciri-Ciri Wara’?


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Wara’
Dalam tradisi sufi, yang disebut Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau belum jelas hukumnya (syubhat). Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku. Seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain[3].
Di samping meninggalakn segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi wara’ juga berarti meninggalkan segala hala yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat atau tidak jelas manfaatnya disebut wara dalam dunia sufi.
Ibrahim bin Adham memberikan penjelasan bhwa wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan[4]. Selaras dengan penjelasan tersebut, Ishaq mengatakan wara’ dalam kehidupan lebih sulit daripada menjauhi emas dan perak, serta zuhud dari kekuasaan lebih sulit dibandingkan dengan menyerahkan emas dan perk karena anda siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan. Sehingga Abu Sulaiman mengatakan bahwa Wara’ adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap yang ada adalah bagian dari ridha[5].
Berdasarkan penjelasan tersebut, menurut penulis yang dimaksud lebih sulit daripada menjauhi emas dan perak adalah melakukan sebuah pekerjaan yang lebih sulit daripada yang sangat sulit. Dalam konteks kehidupan saat ini, emas dan perak merupakan logam mulia yang sangat berharga dan harganya sangat mahal, sehingga tidak mudah untuk mendapatkannya. Begitu juga dengan wara yang dikatakan lebih sulit merupakan sebuah tindakan yang sangat hati-hati dan cukup sulit untuk dilakukan karena harus meninggalkan atau melakukan sesuatu yang kelihatannya baik atau sebaliknya namun susah dibedakan atau dipisahkan.
Para ahli tasawuf membagi wara’ pada dua bagian, yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhai Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti mengisi atau menempatkan sesuatu di hatinya kecuali Allah.
Seorang sufi yang wara’ akan senantiasa menjaga kesucian baik jasmani maupun rohaninya dengan mengendalikan segala perilaku aktifitas kesehariannya. Ia hanya akan melakukan sesuatu jika sesuatu itu bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Dan ia tidak akan menggunakan sesuatu hal yang belum jelas statusnya. Dengan demikian maka raga dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak dirdhai Allah swt.
Jika dikaji lebih mendalam, apa yang dilakukan oleh sufi dengan wara’ bahwa sufi tidak melihat suatu benda atau perilaku seseorang dari wujud kasarnya atau keelokan rupanya. Namun seorang sufi melihat sesuatu baik benda perilaku, maupun gagasan atau pemikiran dari nilai yang terkandung di dalamnya tanpa melihat bentuk fisik. Para sufi menjadikan nilai sebagai hal yang substansial.
Sementara kekayaan, gelar, jabatan, atau status social lainnnya bagi seorang sufi bukanlah hal yang menentukan kualitas seseorang di mata Allah. Yang menentukan derajat seseorang adalah sejauh mana segala hal tersebut mengandung nilai-nilai. Nilai yang dapat mensucikan diri dari kotoran yang telah menjauhkannya dari kodrat asal penciptaannya yang paling sempurna dibanding makhluk lain[6].

B.       Wara’ Menurut Para Imam 
Menurut Qatadah dan Mujahid, artinya bersihkan dirimu dari dosa. Diri ini dikiaskan dengan pakaian. Ini merupakan pendapat Ibrahim, An-Nakhah'y, Adh-Dhahhak, Asy-Sya'by, Az-Zuhry dan para mufassir. Menu-rut Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau mengenakan pada dirimu ke-durhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang Arab biasa mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan sebutantahiruts-tsiyab (ber-sih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan suka berkhianat dise-but danisuts-tsiyab(kotor pakaiannya). Menurut Adh-Dhahhak, artinya benahilah amalmu.
Menurut As-Suddy, biasa dikatakan kepada orang yang dikenal shalih, "Bersih pakai-annya". Sedangkan kepada orang yang jahat akan dikatakan, "Kotor pa-kaiannya". Menurut Sa'id bin Jubair, yang dibersihkan adalah hatinya. Menurut Al-Hasan dan Al-Qurazhy, yang dibersihkan adalah akhlaknya. Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata, "Ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian dari hal-hal najis, yang tidak bisa dipergunakan untuk shalat, sebab orang-orang musyrik tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa membersihkan pakaian." Menurut Thawus, artinya pendekkanlah pakaianmu, karena dengan memendekkan pakaian bisa menjaga kebersihannya.
Tapi yang be-nar adalah pendapat yang pertama, seperti yang tertera dalam ayat. Tidak dapat diragukan bahwa membersihkan pakaian dan memen-dekkannya termasuk cara membersihkan yang diperintahkan, karena dengan cara ini bisa menunjang pembenahan amal dan akhlak. Kotoran zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin. Karena itu orang yang berdiri di hadapan Allah diperintahkan untuk menghilangkan dan menjauhi kotoran itu. Maksudnya,wara'dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air yang dapat membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada kesesuaian zhahir dan batinnya.
Karena itu pakaian seseorang saat tidur menunjukkan keadaan dirinya dan hatinya, yang satu berpengaruh terhadap yang lain. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian sutera, emas dan mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, karena yang demikian itu berpengaruh terhadap hati, yang tidak menggambarkan ubudiyah dan ketundukan.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menghimpun keseluruhan wara'dalam satu kalimat, "Diantara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya." Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua ge-rakan zhahir dan batin. Pernyataan beliau ini sudah mencakup semua yang ada dalamwara'.
Ibrahim bin Adham berkata, "Wara' artinya meninggalkan setiap syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih." Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan secara marfu' kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, " Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah." Menurut Asy-Syibly,wara' artinya menjauhi segala sesuatu selain Allah.
Menurut Abu Sulaiman Ad-Darany,wara'merupakan permulaan zuhud, seperti halnya rasa berkecukupan merupakan permulaan ridha. Menurut Yahya bin Mu'adz,wara'artinya berada pada batasan ilmu tan-pa melakukan ta'wil.Wara'itu ada dua sisi: Wara'zhahir dan wara' batin.Wara' zhahir artinya tidak bertindak kecuali karena Allah semata, sedangkanwara' batin ialah tidak memasukkan hal-hal selain ke dalam hati.
Siapa yang tidak melihat detail wara'tidak akan bisa melihat besarnya anugerah." Sufyan Ats-Tsaury berkata, "Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripadawara',yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah." Menurut Yunus bin Ubaid,wara'artinya keluar dari setiap syubhat dan menghisab diri sendiri setiap saat. Menurut Al-Hasan,wara'seberat dzarrah lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali.
Menurut sebagi-an salaf, seorang hamba tidak mencapai hakikat takwa hingga dia me-ninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak diperbolehkan baginya. Pengarang Manazilus-Sa'irinmengatakan,"Wara' adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan." Dengan kata lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga.
Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati. Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tapi karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehor-matan, seperti orang yang menjaga diri dari hal-hal yang hina dan kebu-rukan, sekalipun dia tidak percaya kepada surga dan neraka. Sedangkan menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan terhadap orang yang menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat, bisa karena menghin-dari ancaman atau karena pengagungan terhadap Allah. Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa karena dorongan takut atau pun pengagungan. Pengagungan ini cukup disamakan dengan cinta. Artinya, orang yang mencintai tentu tidak mau mendurhakai kekasihnya. Menurut pengarangManazilus-Sa'irin, "Waro' merupakan kesudah-an zuhud orang-orang awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan kepada Allah.

C.      Dasar Melakukan Wara’
Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah sabda Nabi saw yang artinya: Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi sesuatu yang tidak berarti. Juga hadis lain yang artinya Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah.
Apa yang dilakukan sufi dengan wara’ pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari perintah Allah dalam surah al-Muddastir ayat 1-3. 
1. Hai orang yang berkemul (berselimut), 2. bangunlah, lalu berilah peringatan! 3. dan Tuhanmu agungkanlah[7].
Al-Qur’an tidak menyebutkan kata wara’ secara eksplisit, namun wara’ yang secara harafiyah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak celaka. Ibnu Qayyim dalam Madarij al Sadikin menyebut bahwa ayat tersebut di atas sebagai bentuk perintah wara’. Dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri seseorang. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan “janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan penghianatan”[8].

D.      Tahapan-Tahapan  Wara’
Ibnu Qayyim secara rinci membagi wara’ dalam tiga tahapan, yakni tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal-hal yang diperbolehkan namun dikhawatrikan akan jatuh pada hal yang dilarang, dan tahap menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membawanya kepada selain Allah[9].
Secara psikologis, seseorang yang banyak melakukan dosa atau pelanggaran etik dan moral akan menjadikan dirinya dihantui oleh perasaan cemas dan takut, yang dalam istilah psikoanalisis disebut moral anxiety (kecemasan moral). Selanjutnya hal ini akan berdampak negative atau menimbulkan penyakit baik fisik maupun psikis. Karena perasaan ini akan senantiasa terpendam dalam alam bawah sadarnya.
Untuk menjaga diri seorang dari penyakit di atas tidak lain adalah dengan menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau pelanggaran etika. Yakni dengan mengendalikan segala hasrat, keinginan dan nafsu serta pengaruh lingkungan sekitarnya. Selanjutnya hanya mengikuti apa yang didorongkan oleh hati nuranyinya.
Dengan kata lain, untuk menghinddarkan diri dari penyakit baik fisik maupun psikis, seseorang harus mampu mengontrol keinginan dan nafsunya, serta tidak melakukan  sesuatu hanya karena mendatangkan kesenangan dan menghindari kesusahan, atau hanya mengharap imbalan. Namun melakukan sesuatu tersebut hanya karena sesuatu tersebut memang “seharusnya” dilakukan.
Banyak hal yang telah dicontohkan Rasul dalam kehidupan dunia ini, dan pada dasarnya semua orang akan bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan wara’ tersebut, hingga pada akhirnya akan mengenal Allah dan dirinya. Demikian juga doktrin “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan dapat mengenal TuhanNya[10]

E.       Tingkatan Wara’
1. Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman. Menjaga diri artinya memelihara dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mengotori dan menodainya di sisi Allah, para malaikat, hamba-hamba-Nya yang beriman dan semua makhluk. Karena siapa yang dirinya mulia di sisi Allah, maka Dia akan menjaga, melindungi, men-sucikan, meniggikan dan meletakkannya di tempat yang paling ting-gi, berkumpul bersama orang-orang yang memiliki kesempurnaan. Sedangkan siapa yang dirinya hina di sisi Allah, maka Dia melempar-kannya ke dalam kehinaan, tidak menjaganya dari keburukan dan melepaskan dirinya.
Batasan minimal menjauhi keburukan adalah menjaga diri. Memperbanyak kebaikan dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperbanyak kesempatan dalam melaksanakan kebaikan. Jika seorang hamba melakukan keburukan, berarti kesempatan yang telah dipersiapkan untuk kebaikan menjadi berkurang. Kedua, memperbany
ak kebaikan yang dilakukan agar tidak berkurang, sebagaimana telah dikupas dalam masalah taubat, bahwa keburukan bisa menggu-gurkan kebaikan, entah secara keseluruhan ataukah sekedar terku-rangi. Minimal akan melemahkan posisi kebaikan itu.
Kaitannya dengan menjaga iman, karena menurut seluruh ulama Ahlus-Sunnah, iman itu bisa bertambah karena ketaatan dan bisa berkurang karena kedurhakaan. Pendapat ini juga dikisahkan dari Asy-Syafi'y dan lain-lainnya dari kalangan shahabat dan tabi'in. Peranan kedurhakaan yang melemahkan iman ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi rasa dan dibuktikan kenyataan. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits, bahwa jika hamba melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan satu titik hitam. Jika dia memohon ampunan, maka hatinya menjadi mengkilap kembali. Jika dia kembali melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan titik hitam lainnya. Keburukan membuat hati menjadi hitam dan mema-damkan cahayanya.
2.      Menjaga hukum dalam perkara-perkara yang mubah, mengekalkan, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melam-paui batasan hukum. Orang yang naik dari derajat pertama dariwara'lalu beralih ke derajat kedua ini, meninggalkan sekian banyak hal-hal yang mubah, karena takut hatinya akan terkotori dan cahayanya padam.
Sebab memang banyak hal-hal yang mubah dapat mengotori kebersihan hati, me-ngurangi gemerlapnya dan memadamkan cahayanya. Suatu kali Syaikhul-Islam berkata kepadaku sehubungan dengan hal yang mubah, "Ini dapat menghilangkan derajat yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukan merupakan syarat untuk mendapatkan ke-selamatan." Orang yang memiliki ma'rifat lebih banyak meninggalkan hal-hal yang mubah, karena untuk mengekalkan penjagaan hati, apalagi jika yang mubah itu merupakan sekat antara yang halal dan yang haram.
3.      Menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perceraian, bergan-tung kepada perpisahan dan yang menghalangi kebersamaan secara total. Perbedaan antara perceraian dan bergantung kepada perpisahan seperti perbedaan antara sebab dan akibat, penafian dan penetap-an. Siapa yang bercerai, maka tidak ada kesempatan baginya untuk bergantung kepada selain tuntutannya.
Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai kehendaknya, berarti dia menghendaki selain-Nya. Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, maka dia akan menyembah selain-Nya. Siapa yang amalnya bukan karena Allah, berarti amalnya karena selain Allah. Perasaan takut membuahkan wara',permohonan pertolongan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpa-an dengan Allah membuahkanzuhud. Ma'rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan.
Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma'rifat membuahkan akhlak. Pikiran membuahkan tekad. Menge-tahui nafsu dan membencinya membuahkan rasa malu kepada Allah, menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar dan disaksikan membuahkan pengetahuan yang benar. Penopang semua ini ada dua macam: Pertama, memindahkan hati dari kampung dunia ke kampung akhirat. Kedua, mendalami, menyimak dan memahami makna-makna Al-Qur'an serta sebab-sebab diturun-kannya, lalu engkau mengambil dari ayat-ayatnya untuk mengobati penyakit di dalam hati.

F.       Sifat-Sifat Wara’
Wara’ merupakan jalan untuk mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah  di dunia maupun di akhirat. Maka wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah  bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
Artinya: "Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya[11].
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan).
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.
Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.
Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.'
Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu."
Rasulullah saw juga bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
Artinya "Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."
Hal itu diperkuat lagi oleh atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."
          Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."
 Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan."
Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya.”         
Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.
Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara'
Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.'         
Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."
 Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara'"
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui. Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak  berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an.
Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.

G.      Ciri-Ciri Wara’
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.' Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
Artinya: "Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."
Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
Artinya: "Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
Artinya: "Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
Artinya: "Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan[12]
Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak[13].
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah  mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
Artinya: "Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."


BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Kita tahu semua bahwa islam telah memberikan jalan yang lurus, terang benderang untuk menuju sebuah kehidupan yang mulia, kehidupan yang menekankan bahwa hidup ini diperuntukkan untuk Allah sang pencipta semata. Dan jalan menuju keridahaan Allah tersebut ditempuh salah satunya dengan cara tasawuf.
Dalam tasawuf terdapat berbagai macam maqamat yang akan mengantarkan manusia sampai pada titik insan kamil, salah satu maqamat yang dikatakan cukup sulit dalam pemabahasan tersebut di atas adalah wara’. Wara merupakan maqamat dalam tasawuf yang mengharuskan manusia harus sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan baik secara lahir maupun batin, karena pada dasarnya Wara merupakan jalan untuk menghindari yang subhat agar betul-betul selamat dari kehidupan baik dunia maupun akhirat.

B.       Saran
Wara’ merupakan rangkaian maqamat yang sangat sulit dan menurut penulis, jarang manusia yang memperhatikan hal tersebut, karena wara’ memposisikan pada ranah antara kebaikan dan keburukan hampir tidak bisa dibedakan. Namun demikian, jika kita semua ingin selamat dan menjadi manusia yang betul-betul diridhai Allah, maka kita dituntut untuk mencapai ridha Nya salah satunya dengan cara Wara’ tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Mutaman Hadi, Maqam-Maqam Sufi dalam Al-Qura’an, ((Yogyakarta, Al-Manar:
2009).

HM. Syukur Amin, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

M Sholih, Anwar Rosihon, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Muhammad Hasyim, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar Offset: 2002).

Tim Mushaf Aminah, Alquran Dan Terjemahannya, Jakarta: Al Fatih, 2013.

Sholikhin Muhammad, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, Semarang: Pustaka
Nuun, 2004

HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah NO 1559
dan 107.

Http//Kisah.Blogspot.Com/2008/04/Wara-Para-Sufi.Html, diakses tanggal 10
April 2015.





[1] Muhammad Fakhr al-Din al-Raziy Ibnu al-Allama Ahy al-Din Umar al-Syahir Bikhatibary, Al-Tafsir Al-Kabir Mafatih Al-Gaby, Jilid II, dalam Hadi Mutaman, Maqam-Maqam Sufi dalam Al-Qura’an, ((Yogyakarta, Al-Manar: 2009), hlm 2.

[2] HM. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 6.
[3] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 2002), hlm 31.
[4] Hadi Mutamam, Maqam-Maqam Sufi dalam Alqur’an, (Yogyakarta, Al-Manar: 2009), hlm 73.
[5] ibid
[6] Ibid hlam 33
[7] Alquran terjemahan…
[8] Maslow. The Farther Reaches of Human Nature, Canada: Penguin Books, dalam Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 2002), hlm 33.

[9] ibid
[10] Muhammad Sholikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm 323
[11] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107
[12] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292.
[13] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290.
Makalah Maqamat Wara' dalam Tasawwuf 4.5 5 Unknown Wednesday, 15 April 2015 Makalah Tentang Wara' dalam Tasawwuf BAB I PENDAHULUAN A.       Latara Belakang Islam merupakan satu-satunya agama Allah swt , yang tidak mungkin, akan di terima ...


No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.