PENDAHULUAN
A. Latara
Belakang
Islam
merupakan satu-satunya agama Allah swt, yang tidak mungkin, akan di terima agama seorang
hamba baik dari kalangan insan maupun jin melainkan harus beragama Islam. Hal ini ditegaskan oleh Allah swt dalam surah Al-Imraan ayat 85
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi”.
Berdasarkan ayat
tersebut, jelaslah Allah telah memberitahukan kepada hambaNya untuk memilih
jalan yang benar, jalan yang diridhai, hingga pada akhirnya islam memberikan
petunjuk melalui Al-Quran agar umat manusia yang mengikuti tuntunan dan
ajaranNya akan selamat.
Alquran sebagai
sebuah pedoman hidup telah memberikan peluang kepada manusia untuk
menganalisis, mempersepsi, melakukan penafsiran dengan berbagai alat, metode,
dan pendekatan utnuk mengungkap makna dan kandungannya. Olehnya itu, muncullah
bermacam-macam metode tafsir sebagai jalan untuk membedah makna yang tersurat
maupun tersirat dari kandungan Al-Quran tersebut. Usaha menfasirkan Al-Quran
adalah agar teks-teks al-Quran menjadi relevan dan sesuai dengan konteksnya.
Salah satu pendekatan dalam penafsiran adalah pendekatan historis filosofis dan
mistis. Kedua pendekatan tersebut, yakni historis dan mistis dianggap sebagai
metode tafsir sufi dalam bentuk respon intelektual dan realitas sosial[1].
Dalam dunia sufi,
tentu erat kaitannya dengan tasawuf, yang mana tasawuf merupakan satu cabang
keilmuan dalam islam, atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan islam
yang lahir kemudian setelah Rasulullah saw meninggal dunia.
Sebagaimana bahwa
tasawuf adalah bagian dari syari’at islam, maka sudah barang tentu semua hal
yang berkaitan dengan perilaku sufistik didasarkan kepada al-Qur’an , al-Hadis
dan perilaku sahabat Nabi saw, baik yang menyangkut tingkatan (maqam) maupun keadaan jiwa (hal)[2].
Maqam adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus menerus dengan melakukan
kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi. Contoh maqam adalah taubat, zuhud,
wara’, faqr, shabar, rdha, dan sebagainya. Suatu maqam tidak lain adalah
merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Inilah yang membedakannya
dengan keadaan spiritual.
Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke
maqam yang lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam
tersebut. Dan dalam pembahasan di bawah ini akan dibahas tentang wara’, yang merupakan
rangkaian dari salah satu maqam dalam
dunia tasawuf. Dalam dunia
tasawuf, ada sebuah maqam/tahapan-tahapan menuju puncak manusia sebagai insan
kamil.
Wara’ merupakan
sebuah tingkatan dalam tasawuf yang menurut sebagian orang rendah namun dalam
penerapannya sangat sulit. Ini dikarenakan hal-hal yang termasuk dalam lingkup
wara’ cenderung terabaikan, misalnya menjauhi hal-hal yang subhat (belum jelas
hukumnya).
Wara’ menjadi
penting untuk dibicarakan mengingat wara’ sendiri mempunyai ruanglingkup dan
persoalan yang berkaitan erat dengan tindakan atau tingkah laku seseorang baik
lahir maupun batin, yang ingin mendekatkan dirinya pada keridhaan Allah swt,
agar pengabdian seorang manusia betul-betul maksimal dan terjaga dari segalah
hal sekecil apapun yang mengakibatkan kegagalan dalam pengabdian.
Dalam konteks
kekinian, banyak orang yang dengan mudah mengabaikan hal-hal sepele namun
menyebabkan dampak tidak baik yang luar biasa, misalnya saja soal syubhat yang
tersebut di atas. Untuk mengantisipasi dan memperbaiki diri dalam kedekatannya
dengan sang Kholik, maka dari itu penting bagi seseorang untuk mempelajari
Wara’ dan menjalankannya sebagai bagain dari proses hidup menuju asal
penciptaan manusia, yakni sebagai Khalifatullah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis
ingin membahas tentang wara’ yang tartuang dalam rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu Wara’?
2. Bagaimana Wara Menurut Para Imam?
3. Apa Dasar-Dasar mengerjakan Wara’?
4. Bagaimana Tahapan dalam melakukan Wara’?
5. Sifat-Sifat Wara’?
6. Bagaimana Tingkatan Wara’?
7. Seperti Apa Ciri-Ciri Wara’?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wara’
Dalam tradisi
sufi, yang disebut Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
atau belum jelas hukumnya (syubhat).
Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang
berupa benda maupun perilaku. Seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan,
perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain[3].
Di samping
meninggalakn segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi wara’ juga
berarti meninggalkan segala hala yang berlebihan, baik berwujud benda maupun
perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat
atau tidak jelas manfaatnya disebut wara dalam dunia sufi.
Ibrahim bin Adham
memberikan penjelasan bhwa wara’ berarti meninggalkan segala sesuatu yang
meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan[4].
Selaras dengan penjelasan tersebut, Ishaq mengatakan wara’ dalam kehidupan lebih
sulit daripada menjauhi emas dan perak, serta zuhud dari kekuasaan lebih sulit
dibandingkan dengan menyerahkan emas dan perk karena anda siap mengorbankan
emas dan perak demi kekuasaan. Sehingga Abu Sulaiman mengatakan bahwa Wara’
adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap yang ada adalah
bagian dari ridha[5].
Berdasarkan
penjelasan tersebut, menurut penulis yang dimaksud lebih sulit daripada
menjauhi emas dan perak adalah melakukan sebuah pekerjaan yang lebih sulit
daripada yang sangat sulit. Dalam konteks kehidupan saat ini, emas dan perak
merupakan logam mulia yang sangat berharga dan harganya sangat mahal, sehingga
tidak mudah untuk mendapatkannya. Begitu juga dengan wara yang dikatakan lebih
sulit merupakan sebuah tindakan yang sangat hati-hati dan cukup sulit untuk
dilakukan karena harus meninggalkan atau melakukan sesuatu yang kelihatannya
baik atau sebaliknya namun susah dibedakan atau dipisahkan.
Para ahli tasawuf
membagi wara’ pada dua bagian, yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’
batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhai
Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti mengisi atau menempatkan sesuatu di
hatinya kecuali Allah.
Seorang sufi yang
wara’ akan senantiasa menjaga kesucian baik jasmani maupun rohaninya dengan
mengendalikan segala perilaku aktifitas kesehariannya. Ia hanya akan melakukan
sesuatu jika sesuatu itu bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain. Dan ia tidak akan menggunakan sesuatu hal yang belum jelas statusnya. Dengan
demikian maka raga dan jiwanya senantiasa terjaga dari hal-hal yang tidak
dirdhai Allah swt.
Jika dikaji lebih
mendalam, apa yang dilakukan oleh sufi dengan wara’ bahwa sufi tidak melihat
suatu benda atau perilaku seseorang dari wujud kasarnya atau keelokan rupanya.
Namun seorang sufi melihat sesuatu baik benda perilaku, maupun gagasan atau
pemikiran dari nilai yang terkandung di dalamnya tanpa melihat bentuk fisik.
Para sufi menjadikan nilai sebagai hal yang substansial.
Sementara
kekayaan, gelar, jabatan, atau status social lainnnya bagi seorang sufi
bukanlah hal yang menentukan kualitas seseorang di mata Allah. Yang menentukan
derajat seseorang adalah sejauh mana segala hal tersebut mengandung
nilai-nilai. Nilai yang dapat mensucikan diri dari kotoran yang telah
menjauhkannya dari kodrat asal penciptaannya yang paling sempurna dibanding
makhluk lain[6].
B.
Wara’ Menurut Para Imam
Menurut Qatadah
dan Mujahid, artinya bersihkan dirimu dari dosa. Diri ini dikiaskan dengan
pakaian. Ini merupakan pendapat Ibrahim, An-Nakhah'y, Adh-Dhahhak, Asy-Sya'by,
Az-Zuhry dan para mufassir. Menu-rut Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau
mengenakan pada dirimu ke-durhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang Arab biasa
mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan
sebutantahiruts-tsiyab (ber-sih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan
suka berkhianat dise-but danisuts-tsiyab(kotor pakaiannya). Menurut
Adh-Dhahhak, artinya benahilah amalmu.
Menurut As-Suddy, biasa
dikatakan kepada orang yang dikenal shalih, "Bersih pakai-annya".
Sedangkan kepada orang yang jahat akan dikatakan, "Kotor
pa-kaiannya". Menurut Sa'id bin Jubair, yang dibersihkan adalah hatinya.
Menurut Al-Hasan dan Al-Qurazhy, yang dibersihkan adalah akhlaknya. Ibnu Sirin
dan Ibnu Zaid berkata, "Ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian
dari hal-hal najis, yang tidak bisa dipergunakan untuk shalat, sebab
orang-orang musyrik tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa
membersihkan pakaian." Menurut Thawus, artinya pendekkanlah pakaianmu,
karena dengan memendekkan pakaian bisa menjaga kebersihannya.
Tapi yang be-nar adalah
pendapat yang pertama, seperti yang tertera dalam ayat. Tidak dapat diragukan
bahwa membersihkan pakaian dan memen-dekkannya termasuk cara membersihkan yang
diperintahkan, karena dengan cara ini bisa menunjang pembenahan amal dan
akhlak. Kotoran zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin. Karena itu orang yang
berdiri di hadapan Allah diperintahkan untuk menghilangkan dan menjauhi kotoran
itu. Maksudnya,wara'dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana
air yang dapat membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan
hati ada kesesuaian zhahir dan batinnya.
Karena itu pakaian seseorang
saat tidur menunjukkan keadaan dirinya dan hatinya, yang satu berpengaruh
terhadap yang lain. Maka ada larangan bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian
sutera, emas dan mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, karena yang
demikian itu berpengaruh terhadap hati, yang tidak menggambarkan ubudiyah dan
ketundukan.
Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam telah menghimpun keseluruhan wara'dalam satu kalimat, "Diantara
tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat
baginya." Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan,
pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua ge-rakan zhahir
dan batin. Pernyataan beliau ini sudah mencakup semua yang ada dalamwara'.
Ibrahim bin Adham berkata,
"Wara' artinya meninggalkan setiap syubhat, sedangkan meninggalkan apa
yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih."
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan secara marfu' kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, " Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara',
niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah."
Menurut Asy-Syibly,wara' artinya menjauhi segala sesuatu selain Allah.
Menurut Abu Sulaiman
Ad-Darany,wara'merupakan permulaan zuhud, seperti halnya rasa berkecukupan
merupakan permulaan ridha. Menurut Yahya bin Mu'adz,wara'artinya berada pada
batasan ilmu tan-pa melakukan ta'wil.Wara'itu ada dua sisi: Wara'zhahir dan
wara' batin.Wara' zhahir artinya tidak bertindak kecuali karena Allah semata,
sedangkanwara' batin ialah tidak memasukkan hal-hal selain ke dalam hati.
Siapa yang tidak melihat
detail wara'tidak akan bisa melihat besarnya anugerah." Sufyan Ats-Tsaury
berkata, "Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripadawara',yaitu
jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah."
Menurut Yunus bin Ubaid,wara'artinya keluar dari setiap syubhat dan menghisab
diri sendiri setiap saat. Menurut Al-Hasan,wara'seberat dzarrah lebih baik
daripada shalat dan puasa seribu kali.
Menurut sebagi-an salaf, seorang hamba tidak mencapai hakikat takwa hingga dia me-ninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak diperbolehkan baginya. Pengarang Manazilus-Sa'irinmengatakan,"Wara' adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan." Dengan kata lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga.
Menurut sebagi-an salaf, seorang hamba tidak mencapai hakikat takwa hingga dia me-ninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak diperbolehkan baginya. Pengarang Manazilus-Sa'irinmengatakan,"Wara' adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan." Dengan kata lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga.
Menjaga diri dan waspada
merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri merupakan
perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati. Adakalanya
seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tapi
karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehor-matan, seperti
orang yang menjaga diri dari hal-hal yang hina dan kebu-rukan, sekalipun dia
tidak percaya kepada surga dan neraka. Sedangkan menjauhi dosa karena
pengagungan, artinya dorongan terhadap orang yang menjauhi hal-hal yang haram
dan syubhat, bisa karena menghin-dari ancaman atau karena pengagungan terhadap
Allah. Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa karena dorongan takut atau pun
pengagungan. Pengagungan ini cukup disamakan dengan cinta. Artinya, orang yang
mencintai tentu tidak mau mendurhakai kekasihnya. Menurut
pengarangManazilus-Sa'irin, "Waro' merupakan kesudah-an zuhud orang-orang
awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan kepada Allah.
C.
Dasar Melakukan Wara’
Adapun yang
menjadi dasar ajaran wara’ adalah sabda Nabi saw yang artinya: Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman
seseorang adalah bahwa ia menjauhi sesuatu yang tidak berarti. Juga hadis
lain yang artinya Bersikaplah wara’ dan
kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah.
Apa yang dilakukan sufi dengan wara’ pada dasarnya
merupakan pelaksanaan dari perintah Allah dalam surah al-Muddastir ayat 1-3.
1.
Hai orang yang berkemul (berselimut), 2.
bangunlah, lalu berilah peringatan! 3.
dan Tuhanmu agungkanlah[7].
Al-Qur’an tidak
menyebutkan kata wara’ secara eksplisit, namun wara’ yang secara harafiyah
berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak celaka. Ibnu
Qayyim dalam Madarij al Sadikin menyebut bahwa ayat tersebut di atas sebagai
bentuk perintah wara’. Dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari
diri seseorang. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan “janganlah kamu busanai dirimu dengan
kemaksiatan dan penghianatan”[8].
D.
Tahapan-Tahapan Wara’
Ibnu Qayyim secara
rinci membagi wara’ dalam tiga tahapan, yakni tahap meninggalkan kejelekan,
tahap menjauhi hal-hal yang diperbolehkan namun dikhawatrikan akan jatuh pada
hal yang dilarang, dan tahap menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membawanya
kepada selain Allah[9].
Secara psikologis,
seseorang yang banyak melakukan dosa atau pelanggaran etik dan moral akan
menjadikan dirinya dihantui oleh perasaan cemas dan takut, yang dalam istilah
psikoanalisis disebut moral anxiety (kecemasan moral). Selanjutnya hal ini akan
berdampak negative atau menimbulkan penyakit baik fisik maupun psikis. Karena
perasaan ini akan senantiasa terpendam dalam alam bawah sadarnya.
Untuk menjaga diri
seorang dari penyakit di atas tidak lain adalah dengan menjauhkan diri dari
perbuatan dosa atau pelanggaran etika. Yakni dengan mengendalikan segala
hasrat, keinginan dan nafsu serta pengaruh lingkungan sekitarnya. Selanjutnya
hanya mengikuti apa yang didorongkan oleh hati nuranyinya.
Dengan kata lain,
untuk menghinddarkan diri dari penyakit baik fisik maupun psikis, seseorang
harus mampu mengontrol keinginan dan nafsunya, serta tidak melakukan sesuatu hanya karena mendatangkan kesenangan
dan menghindari kesusahan, atau hanya mengharap imbalan. Namun melakukan
sesuatu tersebut hanya karena sesuatu tersebut memang “seharusnya” dilakukan.
Banyak hal yang
telah dicontohkan Rasul dalam kehidupan dunia ini, dan pada dasarnya semua
orang akan bisa melakukan hal-hal yang berkaitan dengan wara’ tersebut, hingga
pada akhirnya akan mengenal Allah dan dirinya. Demikian juga doktrin “man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”,
barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan dapat mengenal TuhanNya[10]”
E.
Tingkatan Wara’
1. Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman. Menjaga diri artinya memelihara dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mengotori dan menodainya di sisi Allah, para malaikat, hamba-hamba-Nya yang beriman dan semua makhluk. Karena siapa yang dirinya mulia di sisi Allah, maka Dia akan menjaga, melindungi, men-sucikan, meniggikan dan meletakkannya di tempat yang paling ting-gi, berkumpul bersama orang-orang yang memiliki kesempurnaan. Sedangkan siapa yang dirinya hina di sisi Allah, maka Dia melempar-kannya ke dalam kehinaan, tidak menjaganya dari keburukan dan melepaskan dirinya.
Batasan minimal menjauhi keburukan adalah menjaga diri. Memperbanyak kebaikan dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperbanyak kesempatan dalam melaksanakan kebaikan. Jika seorang hamba melakukan keburukan, berarti kesempatan yang telah dipersiapkan untuk kebaikan menjadi berkurang. Kedua, memperbany
Batasan minimal menjauhi keburukan adalah menjaga diri. Memperbanyak kebaikan dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperbanyak kesempatan dalam melaksanakan kebaikan. Jika seorang hamba melakukan keburukan, berarti kesempatan yang telah dipersiapkan untuk kebaikan menjadi berkurang. Kedua, memperbany
ak kebaikan yang dilakukan agar tidak
berkurang, sebagaimana telah dikupas dalam masalah taubat, bahwa keburukan bisa
menggu-gurkan kebaikan, entah secara keseluruhan ataukah sekedar terku-rangi.
Minimal akan melemahkan posisi kebaikan itu.
Kaitannya dengan menjaga iman, karena menurut seluruh
ulama Ahlus-Sunnah, iman itu bisa bertambah karena ketaatan dan bisa berkurang
karena kedurhakaan. Pendapat ini juga dikisahkan dari Asy-Syafi'y dan
lain-lainnya dari kalangan shahabat dan tabi'in. Peranan kedurhakaan yang melemahkan
iman ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi rasa dan dibuktikan kenyataan.
Sebab sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits, bahwa jika hamba
melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan satu titik hitam. Jika dia
memohon ampunan, maka hatinya menjadi mengkilap kembali. Jika dia kembali
melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan titik hitam lainnya. Keburukan
membuat hati menjadi hitam dan mema-damkan cahayanya.
2.
Menjaga hukum
dalam perkara-perkara yang mubah, mengekalkan, melepaskan diri dari kehinaan,
dan menjaga diri agar tidak melam-paui batasan hukum. Orang yang naik dari
derajat pertama dariwara'lalu beralih ke derajat kedua ini, meninggalkan sekian
banyak hal-hal yang mubah, karena takut hatinya akan terkotori dan cahayanya padam.
Sebab memang banyak hal-hal yang mubah dapat mengotori
kebersihan hati, me-ngurangi gemerlapnya dan memadamkan cahayanya. Suatu kali
Syaikhul-Islam berkata kepadaku sehubungan dengan hal yang mubah, "Ini
dapat menghilangkan derajat yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukan
merupakan syarat untuk mendapatkan ke-selamatan." Orang yang memiliki
ma'rifat lebih banyak meninggalkan hal-hal yang mubah, karena untuk mengekalkan
penjagaan hati, apalagi jika yang mubah itu merupakan sekat antara yang halal dan
yang haram.
3.
Menjauhi segala
sesuatu yang mengajak kepada perceraian, bergan-tung kepada perpisahan dan yang
menghalangi kebersamaan secara total. Perbedaan antara perceraian dan
bergantung kepada perpisahan seperti perbedaan antara sebab dan akibat, penafian
dan penetap-an. Siapa yang bercerai, maka tidak ada kesempatan baginya untuk
bergantung kepada selain tuntutannya.
Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai kehendaknya,
berarti dia menghendaki selain-Nya. Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan, maka dia akan menyembah selain-Nya. Siapa yang amalnya bukan karena
Allah, berarti amalnya karena selain Allah. Perasaan takut membuahkan
wara',permohonan pertolongan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman
kepada perjumpa-an dengan Allah membuahkanzuhud. Ma'rifat membuahkan cinta,
takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan.
Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma'rifat
membuahkan akhlak. Pikiran membuahkan tekad. Menge-tahui nafsu dan membencinya
membuahkan rasa malu kepada Allah, menganggap banyak karunia-Nya dan menganggap
sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar
dan disaksikan membuahkan pengetahuan yang benar. Penopang semua ini ada dua
macam: Pertama, memindahkan hati dari kampung dunia ke kampung akhirat. Kedua,
mendalami, menyimak dan memahami makna-makna Al-Qur'an serta sebab-sebab
diturun-kannya, lalu engkau mengambil dari ayat-ayatnya untuk mengobati
penyakit di dalam hati.
F.
Sifat-Sifat Wara’
Wara’ merupakan jalan untuk mengenal
Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan
syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati
dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah di dunia maupun di akhirat. Maka wara'
di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal
yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar
tidak merugikan agamanya.
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian
mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian
mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam
hal itu, Rasulullah bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ,
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
Artinya: "Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara
keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.
Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah
membersihkan agama dan kehormatannya[11].
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan,
niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan
sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada
yang diharamkan).
Maka wara'
yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah:
yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap
diri sendiri di setiap kedipan mata.
Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin
'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah
(introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.
Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat
terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang
menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbari rahimahullah mengisyaratkan
kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di
antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan
yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan
dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang
memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.
Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia
menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa
melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram,
semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal
itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil
yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya
adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah).
Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan
mata.
Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya
meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti
yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau
merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.'
Imam al-Bukhari rahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah:
'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu."
Rasulullah saw juga bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ
إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ
يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
Artinya "Kebaikan
adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya,
sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak
merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar
kepadamu."
Hal itu diperkuat lagi oleh atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah
secara mursal:
مَا
أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu
yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."
Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk
diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa
kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau
bersabda:
لاَيَبْلُغُ
الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ
حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang
hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak
dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah
pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata
kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi
kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam
keselamatan."
Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah,
maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan
kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui.
Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan
diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan
sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam
ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan
harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas
dan perak…
Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits
Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah r mengumpulkan
semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal
yang tidak penting baginya.”
Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara
pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau
menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati
karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati
ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu
Hajar rahimahullah.
Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga
pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak
mengetahui: 'Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara'
Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari
celaan:
فَمَنْ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia
telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjadi dalil
bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan
kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan
dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan
menjaga sikap muru`ah.'
Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا
تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling
beribadah."
Dan jika agama yang paling utama
adalah sikap wara':
خَيْرُ
دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara'"
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan
menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan
berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui. Maka
sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri
mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan
penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak berarti adanya
sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang
luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an.
Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi
terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.
G.
Ciri-Ciri Wara’
Ciri
mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan
sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang
dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa
ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.' Imam al-Bukhari rahimahullah
mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu
yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang
meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." Sebagaimana
diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ
النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
Artinya: "Kebaikan adalah sesuatu
yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa
adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram
kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."
Dan yang
memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah
secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
Artinya: "Sesuatu
yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."
Orang-orang
yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka
sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada
sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ
مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
Artinya: "Seorang hamba tidak bisa
mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena
khawatir dari sesuatu yang dilarang."
Hal ini
diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ
الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
Artinya: "Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan
yang haram …"
Ibnu
al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu
hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang
tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan[12]
Sebagaimana
wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka
sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan
orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena
itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi: Menahan
diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan
sunnah.' Ishaq bin Khalaf rahimahullah memandang sikap wara` dalam
ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan
harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas
dan perak[13].
Di antara
renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah, dia
menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah mengumpulkan semua sifat wara'
dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
Artinya: "Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia
meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kita tahu semua
bahwa islam telah memberikan jalan yang lurus, terang benderang untuk menuju
sebuah kehidupan yang mulia, kehidupan yang menekankan bahwa hidup ini
diperuntukkan untuk Allah sang pencipta semata. Dan jalan menuju keridahaan
Allah tersebut ditempuh salah satunya dengan cara tasawuf.
Dalam tasawuf
terdapat berbagai macam maqamat yang akan mengantarkan manusia sampai pada
titik insan kamil, salah satu maqamat yang dikatakan cukup sulit dalam
pemabahasan tersebut di atas adalah wara’. Wara merupakan maqamat dalam tasawuf
yang mengharuskan manusia harus sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan
baik secara lahir maupun batin, karena pada dasarnya Wara merupakan jalan untuk
menghindari yang subhat agar betul-betul selamat dari kehidupan baik dunia
maupun akhirat.
B. Saran
Wara’ merupakan
rangkaian maqamat yang sangat sulit dan menurut penulis, jarang manusia yang
memperhatikan hal tersebut, karena wara’ memposisikan pada ranah antara
kebaikan dan keburukan hampir tidak bisa dibedakan. Namun demikian, jika kita
semua ingin selamat dan menjadi manusia yang betul-betul diridhai Allah, maka
kita dituntut untuk mencapai ridha Nya salah satunya dengan cara Wara’
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Mutaman Hadi,
Maqam-Maqam Sufi dalam Al-Qura’an, ((Yogyakarta, Al-Manar:
2009).
HM. Syukur Amin,
Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004).
M Sholih, Anwar Rosihon, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Muhammad Hasyim,
Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi,
(Yogyakarta, Pustaka
Pelajar Offset: 2002).
Tim Mushaf
Aminah, Alquran Dan Terjemahannya,
Jakarta: Al Fatih, 2013.
Sholikhin
Muhammad, Tasawuf Aktual Menuju Insan
Kamil, Semarang: Pustaka
Nuun, 2004
HR.
al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah NO 1559
dan 107.
Http//Kisah.Blogspot.Com/2008/04/Wara-Para-Sufi.Html, diakses
tanggal 10
April 2015.
[1] Muhammad
Fakhr al-Din al-Raziy Ibnu al-Allama Ahy al-Din Umar al-Syahir Bikhatibary,
Al-Tafsir Al-Kabir Mafatih Al-Gaby, Jilid II, dalam Hadi Mutaman, Maqam-Maqam
Sufi dalam Al-Qura’an, ((Yogyakarta, Al-Manar: 2009), hlm 2.
[3] Hasyim
Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 2002), hlm 31.
[8] Maslow.
The Farther Reaches of Human Nature, Canada: Penguin Books, dalam Hasyim
Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan
Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 2002), hlm 33.
[11] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman,
no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107
[13] Tahdzib Madarijus salikin hal.
290.
No comments:
Post a Comment