Kehidupan di dalam pesantren penuh dengan pembatasan. Santri hidup dalam siklus yang terjadwal dan tidak leluasa bergaul dengan masyarakat luar. Dalam berbagai kasus, pola semacam ini membentuk karakter santri, yang canggung bergaul. Jika paham radikal menyusup pada situasi semacam ini, santri akan mudah terpengaruh karena kehidupan sosialnya yang kurang baik.
Untuk menghindari kondisi semacam itu, Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) di Yogyakarta membuat terobosan. Sekitar 1.400 santrinya diajak untuk hidup di tengah masyarakat pedesaan selama lima hari. Setiap santri tinggal bersama satu keluarga, dan wajib hidup seperti anggota keluarga barunya. Mereka yang tinggal di rumah petani, harus membantu pekerjaan di sawah.
Begitupun dengan santri yang hidup bersama pedagang makanan keliling atau peternak sapi. Menurut ustadz Agus Yudha Perwira yang memimpin kegiatan ini, proses terlibat langsung dengan masyarakat akan membuat santri memahami bagaimana kehidupan sosial yang sebenarnya.
“Santri kita terjunkan ke rumah-rumah, yang menurut kriteria kami, mereka miskin atau menengah ke bawah. Tujuannya untuk menerapkan apa yang didapat santri di pondok, yaitu dengan santri-santri itu mengikuti kegiatan tuan rumah, misalnya bertani atau mencari rumput, agar santri itu merasakan bagaimana susahnya hidup yang sebenarnya,” kata Agus Yudha Perwira.
Salah satu santri putri yang mengikuti kegiatan ini, Shiva Mega, mengaku bisa belajar banyak dengan hidup di luar pondok pesantren selama lima hari. Selama di pesantren, hidupnya dilewati dengan belajar ilmu duniawi di siang hari dan memperdalam ilmu agama di malam hari. Kesempatan bergaul dengan masyarakat kali ini memberi dia pelajaran yang sangat berbeda.
“Memberi kita pengajaran, bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi penjual, bisa merasakan dan mengerti kehidupan, tidak selamanya hidup itu enak-enak saja,” ungkap Shiva Mega.
Salim Wahyudi, warga Prambanan Yogyakarta yang menjadi salah satu tuan rumah dalam kegiatan ini mengaku memperoleh pengalaman baru. Kedua anaknya yang masih kecil berkesempatan berinteraksi dengan para santri, dan sebaliknya para santri membantu dia membuat dan menjual makanan kecil.
“Kegiatan ini sangat membantu saya, terutama bagi saya pribadi yang berdagang. Kami sebagai pedagang keliling bakso ayam dan siomay. Mereka membantu pekerjaan saya dalam proses pembuatan makanan yang akan dijual dan juga dalam penjualannya,” kata Salim Wahyudi.Pondok pesantren di Indonesia, terutama pesantren tradisional, menerapkan aturan yang ketat dalam kegiatan di luar lingkungan asrama. Kehidupan santri putra dan putri dipisah. Tidak hanya itu, rata-rata santri hanya punya kesempatan satu hari dalam satu bulan untuk melihat kehidupan di luar, kecuali di saat mereka libur panjang dan pulang ke rumah masing-masing.
Banyak santri masuk ke pondok pesantren sejak sekolah dasar atau usia tujuh tahun, dan keluar ketika lulus sekolah menengah umum di umur sekitar 18 tahun. Sebagian masih meneruskan kehidupan di pesantren ketika kuliah, baik di Indonesia maupun di negara-negara Timur Tengah.
No comments:
Post a Comment