Makalah Ushul Fikih

 on Monday 11 May 2015  

Konsep Ushul Fikih dalam Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Islam merupakan agama samawi yang didalamnya terkandung berbagai aturan/hukum yang mengataur segala sisi kehidupan manusia. Kehadiran islam sendiri mengatur setiap sisi kehidupan manusia dari hal yang paling kecil sampai yang besar, mulai dari urusan dunia hingga akhirat. Sebagai sebuah agama yang menjadi petunjuk, tentunya islam mempunyai dua sumber pokok hukum yang menjadi rujukan bagi setiap umat islam dalam menjalankan kehidupannya.
Wajib diimani oleh setiap muslim bahwa Islam dan syariatnya adalah agama dan sumber hukum yang sempurna, lengkap, dan abadi. Tidak ada satu amalan atau aturan yang mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat melainkan telah dijelaskan di dalamnya. Tidak pula ada satu amalan pun yang membahayakan kehidupan mereka melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan dan dijauhi, sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam surat al-Maidah ayat 3. Ayat ini mengandung berita tentang nikmat Allah SWT yang terbesar untuk umat Islam, yaitu ketika Allah SWT menjadikan agama yang mereka yakini sebagai agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh sehingga umat Islam tidak lagi membutuhkan syariat dan sumber hukum selain yang telah diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur kehidupan mereka[1]. Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT adalah syariat yang penuh dengan kebenaran pada seluruh berita yang dikandungnya. Syariat Islam juga merupakan syariat yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta kepentingan tertentu pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.
Dan tentunya agar dalam memahami islam betul-betul sempurna, perlu juga bagi setiap muslim untuk memahami seluk-beluk hukum yang muncul didalam islam itu sendiri. Ini penting karena di dalam islam, hukum juga terbagi ke dalam beberapa bagian, di bawah ini akan dibahas tentang tinjauan hukum islam.

B.       Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.      Pengertian Hukum Islam
2.      Macam-Macam Hukum Islam
3.      Unsur-Unsur Hukum Islam
4.      Metodologi Penggalian Hukum Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hukum
Secara etimologi, hukum adalah mencegah. Hukum juga berarti putusan[2]. Secara terminologis, hukum adalah khitab[3] Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk iqtida, at-takhyir, dan al-wadh’i[4].
Sedangkan hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .
Syariat[5]menurut bahasa berartijalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah.
Mayoritas ulama ushul mendenifisikan hukum sebagai berikut:
 خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاءً او تخييراً اووضعاً.
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang.”

B.       Macam-Macam Hukum Islam
1.      Hukum Taqlifi
Hukum taklifi/takliffiyyah artinya tuntutan atau memberi beban[6], adalah Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada seorang mukallaf. Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunnah. Larangan Allah terbagi menjadi dua; Haram dan Makruh. Pilihan boleh (Mubah) terbagi menjadi dua; boleh mengerjakan boleh meninggalkan. Contoh-Contoh Hukum Taklifi
a.       Wajib.
Menurut bahasa Wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah Wajib adalah: “sesuatu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:
1). Dari sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah.
2). Dari sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar.
3). Dari sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat.
b.      Sunnah.
Hukum Sunnah merupakan sesuatu yang dianjurkan. Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi menjadi tiga bagian:
1). Sunnah Muakkad.
b). Sunnah Ghairu Muakkad.
c). Sunnah Zawaid.
c.       Haram.
Haram adalah sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya. Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan kedamaian. Ulama Ushul membagi haram kedalam dua bagian:
1).  Haram Li-Dzatihi.
b). Haram Li-Ghoirihi
d.      Makruh.
Makruh secara bahasa berarti “sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan ramadlan.
Ketentuan makruh biasanya dinyatakan dengan shigat larangan, namun disertai dengan qarinah yang menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat. Seperti pada QS.5:101,” Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa tas aluu ‘an asy yaa-a in tubda lakum tasu’kum”, artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian banyak bertanya tentang berbagai hal, karena kalau dibeberkan semuanya justru akan membuat kalian sukar”.
e.       Mubah.
     Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.
2.      Hukum Wadh’i
Hukum Wadl’I  adalah Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai mani’ (penghalang) [7]. Dengan demikian hukum wadl’i terbagi menjadi 3 macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang), antara lain:
a.    Sebab.
Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada hukum dan jika tidak ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: Tergelincirnya matahari menjadi sebab datangnya waktu duhur. Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan orang tuanya. Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk. Gila menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya. Jual beli menjadi sebab bagi perpindahan kepemilikan barang.
Menurut Hanafi, sebab terdiri dari enam macam, yaitu:
1)   Sebab diluar usaha atau kesanggupan mukallaf, sebagaimana keadaan emergensi atau darurat menjadi sebab memakan bangkai tidak berdosa.
2)   Sebab yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf. Sebab yang demikian dibagi dua, yaitu: (1) yang termasuk dalam hukum taklifi; (2) yang termasuk dalam hukum wad’i.
3)   Mengerjakan sebab berarti mengerjakan musabbanya, karena sebab itu tidak dinamakan sebab kalau tidak untuk menghasilkan musabbanya. Contohnya, seseorang menikah akan melahirkan hukum lain sebagai akibat dari adanya pernikahan, misalnya adanya harta bersama, saling mewarisi dsb.
4)   Mengerjakan sebab berarti mengerjakan musabbanya, disadari atau tidak. Seolah-olah orang mengerjakan sebab dengan langsung mengerjakan musabbanya, meskipun musabbanya itu bukan dari pekerjaannya. Dengan mengerjakan sebab, ia harus memikul resiko perbuatannya yang menjadi musabbab, seperti qishah sebagai balasan dari membunuh.
5)   Orang mengerjakan sebab dengan sempurna sayarat-syaratnya, dan tidak terdapat halangannya maka orang tersebut tidak dapat mengelakkan diri dari musabbanya. Contoh membeli adalah sebab adanya hak milik, bagaimanapun ia tidak menghendaki hak milik tersebut, ia tidak dapat lepas dari hak itu.
6)   Sebab-sebab yang dilarang adalah sebab-sebab kerusakan atau keburukan, sebagaimana kebalikannya sebab-sebab yang diperintahkan adalah sebab-sebab kebaikan dan kemaslahatan. Conotoh larangan melakukan riba, karena ada orang yang tidak berdaya, sedangkan perang di jalan Allah swt diperintahkan, meskipun perang mendatangkan kerusakan jiwa dan harta benda.
b.    Syarat.
Syarat adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: Wudlu sebagai syarat sahnya sholat. Si A berkata kepada si B: “Jika kamu membantu saya maka hutangmu lunas.” Membantu di sini adalah sebagai syarat hutang si B lunas. Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di kampus STAIS dsb.
Syarat dibagi menjadi 2 macam: Syarat haqiqi, yaitu syarat utama bagi pekerjaan lain yang berhubungan langsung dengannya. Misalnya berwudu sebagai sayarat haqiqi bagi adanya sholat, memiliki kemampuan “ongkos” sebagai prasyarat naik haji. Syarat Ja’li, adalah syarat yang ditetapkan oleh mukallaf atau segala hal yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan perbuatan lain. Contoh adanya masyrut, dan tidak meniadakannya, seperti membayar kontan/kredit dalam jual beli, syarat ini boleh dilakukan. Contoh lain, suatu pekerjaan yang bergantung pada sebab dan syaratnya yang baku. Jika sebabnya dilakukan, tetapi syaratnya tidak, maka pekerjaanya batal/tidak syah. Misalnya mengerjakan sholat karena sudah waktunya, tetapi tidak berwudhu terlebih dahulu, atau sebaliknya sholat dengan wudhu, tetapi belum tiba waktunya, maka pekerjaan tersebut batal/tidak syah.
c.    Mani
Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: Membunuh istri sebagai mani’(penghalang) suami tidak mendapat warisan istri. Haid sebagai mani’(penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat. Hutang sebagai mani’(penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat.
3.      Hukum Takhyiri
Takhyir adalah Syari’ (Allah dan Rasul) memberikan pilihan kepada mukallaf untuk memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan[8]. Hukum yang terambil dari nash dengan gaya redaksi ini hukumnya adalah halal. Artinya seorang mukallaf boleh melakukan/ meninggalkan. Dalam pembahasan ilmu ushul hukum, takhyiri biasa disebut dengan mubah[9].
Redaksi Takhyiri antara lain:
a.    Menyatakan bahwa suatu perbuatan, halal dilakukan. Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 187 yang artinya “Dihalalkan bagimu pada malam hari-hari puasa bercampur dengan istri-istrimu, mereka adalah pakaianmu dan dan kamu adalah pakaian mereka...”
b.    Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 173 yang artinya “Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya (makan), sesungguhnay Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
c.    Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 235 yang artinya “Dan tidak ada kesalahan bagimu meminang wanita-wanita itu (dalam ’iddah wafat) dengan sindiran atau kamu menyembunyi-kan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu...”

C.      Unsur-Unsur Hukum Islam
Hukum dianggap ada jika telah terpenuhi unsur-unsurnya, maka harus ada yang menetapkan hukum, adanya hukum yang ditetapkan, perbuatan yang berkaitan dengan hukum itu sendiri dan siaoa yang harus melaksanakan hukum. Dengan demikian unsur-unsur yang harus ada dalam hukum syara’ ada empat macam, yakni:
1.      Al-Hakim, yang menetapkan hukum
2.      Mahkum bih (Hukum yang ditetapkan), adanya tuntutan hukum yang bersifat pasti untuk dikerjakan atau ditinggalkan atau perbuatan yang dihukumkan. Perbuatan yang dihukumkan adalah hasil dari pemaknaan dan pengungkapan maksud-maksud yang terkandung di dalam nash Al-qur’an maupun Hadist. Nash-nash itu sendiri ada yang muhkamat[10] dan ada yang mutasyabihat[11], sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Imran ayat 7:
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

3.       Makhum fih, adalah perbuatan yang berkaitan dengan hukum. Syara’ memiliki 3 syarat: pertama, perbuatan benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga ia dapat mengerjakan apa yang diperintahkannya. Jika ada ayat yang global dan tidak jelas, maka mukallaf tidak harus mengerjakannya. Kedua, tuntutan itu diyakini oleh mukallaf dari yang memang wajib membuat tuntutan, yakni Allah SWT atau Al-Hakim. Ketiga, perbuatan yang dituntutkan adalah yang sanggup untuk dilakukan mukallaf.
4.       Mahkum Alaih (Mukalaf yang dibebani hukum), artinya mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Dengan demikian, mukalaf harus memahami daliltaklif (Tuntutan) dan ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.

D.      Tujuan Hukum Islam
Maksud umum di syari’atkan Hukum islam menurut Abd Wahab Khalaf adalah untuk merealisir kemaslahatan umat dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat primer, sekunder dan tersier. Tujuan dari hukum menurut teori dari Imam al-Ghazali yaitu teori Maqashid al-Syari’ah menjabarkan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan umat manusia. Untuk itu dicanangkan tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling melengkapi: al-dharuriyyat, al-hajiyyat dan al-Tahsiniyat.
Pada perkembangannya, para ahli hukum islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan hukum menjadi tiga yaitu:
1.    Tujuan yang bersifat Primer (maqashid al-dharuriyyat)
Maqashid al-dharuriyyat didefinisikan sebagai tujuan yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara total. Artinya, bila sendi-sendi itu, tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak akan tercapai. Di sini ada lima kepentingan yang harus dilindungi:
a.    Hifdz ad-din (perlindungan terhadap agama), Pemeliharaan agama pada dasarnya merupakan pengistilahan dari cegahan murtad (riddahhi ruju’) artinya kembali.
b.    Hifdz al-Nafs (perlindungan jiwa), sebagai alasan pengharaman membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain tanpa alas an yang hak.
c.    Hifdz an-nasb (perlindungan terhadap keturunan), merupakan pengistilahan dari perintah untuk menikah dan dilarangnya perzinaan, karena perbuatan itu merusak keturunan (nasab).
d.   Hifdz al-aql (perlindungan terhadap akal), merupakan pengistilahan dari pencegahan untuk mengkonsumsi minuman-minuman keras.
e.    Hifdz al-mal (perlindungan terhadap harta), merupakan pengistilahan dari cegahan untuk mencuri, cegahan makan harta dengan cara batil.
2.    Tujuan yang bersifat Sekunder (Maqashid al-Hajiyyat), didefinisikan sebagai seuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang termasuk dalam kategori al-dhauriyyat. Misalnya, membangun masjid untuk menfasilitasi ibadah shalat sebagai tujuan primer.
3.    Tujuan yang bersifat Tersier (Maqashid al-Tahsiniyyat), merupakan sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat memperindah. Misalnya memperindah masjid.

E.       Metodologi penemuan hukum islam
Dalam menentukan hukum islam diperlukan beberapa metode. Mesti diingat kembali bahwa masalah utama yang mendorong ulama untuk  merumuskan berbagai teori dan metode ijtihad adalah kenyataan abadi yang dihadapi oleh umat islam bahwa nash al-Quran dan hadis terbatas secara kuantitatif padahal peradaban (peristiwa hukum) selalu berkembang. Maka digunakan berbagai metode untuk menentukan hukum islam , diantaranya:
1.    Metode Penafsiran teks hukum (interpretasi Literal).
Pada era kekinian, kebutuhan akan hukum kontemporer mendesak keberadaannya, sementara teks hukum secara kuantitas terbatas, di samping keputusan hukum baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah belum atau kurang jelas. Oleh karena itu, diperlukan istimbat yang menggunakam dua pendekatan yaitu: Bahasa yaitu mendekati sumber hukum dari segi kebahasaan dan Makna yaitu mendekati hukum islam dari segi makna dan tujuan  dibalik teks hukum.
2.     Metode Ta’lili
Yaitu meneliti secara seksama apa yang dijadikan dasar konsepsi (penetapan) hukum. Pondasi ini merupakan sebab adanya hukum berupa alas an-alasan ditetapkannya hukum maupun tujuan hukum.
3.     Metode Sinkronisasi
Metode ini diperlukan saat tejadi pertentangan antara kandungan salah satu dalil dengan kandungan dalil dengan kandungan dalil lain yang sama derajatnya.
Perubahan mendasar dalam kehidupan manusia sesuai dengan perkembangan zaman selalu menuntut, pembaharuan, reformasi dan reformulasi rumusan hukum. Jika tidak, hukum yang ada tidak mampu melahirkan kemaslahatan bagi umat manusia, yang terjadi sebaliknya, hukum menjadi pengekang dalam kemajuan umat. Seperti kasus zakat yang meniadakan zakat atas pemilik kuda, hal ini sangat tidak sesuai dengan jaman sekarang mengingat kuda digunakan sebagai harta kekayaan. Hal ini tidak adil bagi peternak kambing yang diwajibkan zakat. Selain masalah kuda juga tentang zakat tanaman yang sebatas terhadap tanaman pokok sedangkan tanaman lain seperti cengkeh, coklat dan lain-lain mempunyai nilai jual yang tinggi.


[1] Luqman Baabdu, Islam Adalah Agama dan Sumber Hukum yang Sempurna, http//islamhouse.com, diakses tanggal 26 Februari 2015.
[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hlm 207.
[3] Yang dimaksud khitab di sini adalah firman Allah berupa perintah atau larangan-larangan.
[4] Beni Ahmad Saebani, Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm 209, dikutip dari Abdul Wahab Khalaf dalam Ilmu Ushul Fiqh, 1989.
[5]MenurutProf. Mahmud Syaltout; “Syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.”Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian bahwa syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.
[6] Beni Ahmad Saebani, Januri, Fiqh Ushul Fiqh…, hlm 210
[7]A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, Cet.I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997) hlm. 107
[8]Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 181.
[9]Muhammad al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 63.
[10] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[11] Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain, atau bisa dikatakan ayat-ayat yang bermakna tidak jelas.

Makalah Ushul Fikih 4.5 5 Unknown Monday 11 May 2015 makalah ushul fikih Konsep Ushul Fikih dalam Hukum Islam BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Islam merupakan agama samawi yang didalamnya terk...


No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.