Konsep Ushul Fikih dalam Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Islam merupakan agama samawi yang didalamnya terkandung berbagai aturan/hukum yang mengataur segala sisi kehidupan manusia. Kehadiran islam sendiri mengatur setiap sisi kehidupan manusia dari hal yang paling kecil sampai yang besar, mulai dari urusan dunia hingga akhirat. Sebagai sebuah agama yang menjadi petunjuk, tentunya islam mempunyai dua sumber pokok hukum yang menjadi rujukan bagi setiap umat islam dalam menjalankan kehidupannya.
Wajib
diimani oleh setiap muslim bahwa Islam dan syariatnya adalah agama dan sumber
hukum yang sempurna, lengkap, dan abadi. Tidak ada satu amalan atau aturan yang
mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat
melainkan telah dijelaskan di dalamnya. Tidak pula ada satu amalan pun yang
membahayakan kehidupan mereka melainkan telah diperingatkan untuk ditinggalkan
dan dijauhi, sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam surat
al-Maidah ayat 3. Ayat ini mengandung berita tentang nikmat Allah SWT
yang
terbesar untuk umat Islam, yaitu ketika Allah SWT
menjadikan
agama yang mereka yakini sebagai agama yang sempurna, lengkap, dan menyeluruh
sehingga umat Islam tidak lagi membutuhkan syariat dan sumber hukum selain yang
telah diturunkan oleh Allah SWT untuk
mengatur kehidupan mereka[1].
Syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT
adalah
syariat yang penuh dengan kebenaran pada seluruh berita yang dikandungnya.
Syariat Islam juga
merupakan syariat yang adil, universal, jujur, dan jauh dari kezaliman serta
kepentingan tertentu pada seluruh hukum dan aturan yang diberlakukannya.
Dan tentunya agar dalam memahami islam betul-betul
sempurna, perlu juga bagi setiap muslim untuk memahami seluk-beluk hukum yang
muncul didalam islam itu sendiri. Ini penting karena di dalam islam, hukum juga
terbagi ke dalam beberapa bagian, di bawah ini akan dibahas tentang tinjauan
hukum islam.
B. Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan
ini adalah:
1.
Pengertian
Hukum Islam
2.
Macam-Macam
Hukum Islam
3.
Unsur-Unsur
Hukum Islam
4.
Metodologi
Penggalian Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum
Secara etimologi, hukum adalah mencegah. Hukum juga
berarti putusan[2]. Secara
terminologis, hukum adalah khitab[3]
Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk iqtida, at-takhyir, dan al-wadh’i[4].
Sedangkan
hukum syara’
menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syar’i yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa
ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh
kitab syari’ dalam perbuatan seperti
wajib,
haram dan mubah .
Syariat[5]menurut
bahasa berartijalan.
Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk
umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan
amaliyah.
Mayoritas
ulama ushul mendenifisikan hukum sebagai berikut:
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاءً او تخييراً اووضعاً.
“Kalam Allah
yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat
imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan
penghalang.”
B. Macam-Macam
Hukum Islam
1.
Hukum
Taqlifi
Hukum taklifi/takliffiyyah artinya tuntutan atau memberi beban[6],
adalah Hukum yang mengandung perintah, larangan atau memberi pilihan kepada
seorang mukallaf. Perintah Allah terbagi menjadi dua; Wajib dan Sunnah.
Larangan Allah terbagi menjadi dua; Haram dan Makruh. Pilihan boleh (Mubah)
terbagi menjadi dua; boleh mengerjakan boleh meninggalkan. Contoh-Contoh Hukum Taklifi
a. Wajib.
Menurut bahasa
Wajib berarti tetap atau pasti. Adapun menurut istilah Wajib adalah: “sesuatu
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah untuk dilaksanakan oleh seorang
mukallaf. Wajib terbagi menjadi tiga bagian secara garis besar:
1).
Dari
sisi pembebanannya: Wajib Ain dan Wajib Kifayah.
2).
Dari
sisi kandungan perintah: Wajib Mu’ayyan dan Wajib Mukhoyyar.
3).
Dari
sisi waktu pelaksanaannya: Wajib Mutlak dan Wajib Muaqqat.
b. Sunnah.
Hukum Sunnah
merupakan sesuatu yang dianjurkan. Menurut sebagian ulama Ushul, Sunnah terbagi
menjadi tiga bagian:
1).
Sunnah
Muakkad.
b). Sunnah Ghairu Muakkad.
c). Sunnah Zawaid.
c. Haram.
Haram adalah
sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Di dalam kajian Ushul Fiqih diuraikan
bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah pasti membawa kerusakan dan bahaya.
Sedangkan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pasti membawa kebaikan dan
kedamaian. Ulama
Ushul membagi haram kedalam dua bagian:
1).
Haram Li-Dzatihi.
b). Haram Li-Ghoirihi
d. Makruh.
Makruh secara bahasa berarti
“sesuatu yang dibenci”. Adapun secara istilah, makruh adalah: “Sesatu yang
dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, bilamana ditinggalkan maka akan
terpuji dan bila dikerjakan tidak berdosa”. Contoh: berkumur pada bulan
ramadlan.
Ketentuan makruh biasanya dinyatakan
dengan shigat larangan, namun disertai dengan qarinah yang menyebabkan tuntutan
tersebut tidak mengikat. Seperti pada QS.5:101,” Yaa ayyuhalladziina
aamanuu laa tas aluu ‘an asy yaa-a in tubda lakum tasu’kum”, artinya: “
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian banyak bertanya tentang
berbagai hal, karena kalau dibeberkan semuanya justru akan membuat kalian
sukar”.
e. Mubah.
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.
Mubah secara bahasa berarti “sesuatu yang diperbolehkan”. Secara istilah mubah adalah: “sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat apakah akan melakukan atau tidak melakukan, dan tidak ada hubungannya dengan dosa”. Contoh: makan dll.
2. Hukum Wadh’i
Hukum Wadl’I adalah Ketentuan
syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat atau sebagai
mani’ (penghalang) [7]. Dengan
demikian hukum wadl’i
terbagi menjadi 3 macam: Sebab, Syarat dan Mani’ (penghalang), antara lain:
a. Sebab.
Sebab
adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan
tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum. Jika ada sebab maka ada
hukum dan jika tidak ada sebab maka tidak ada hukum.
Contoh: Tergelincirnya matahari menjadi
sebab datangnya waktu duhur. Anak menjadi sebab seseorang mendapat warisan
orang tuanya. Tindakan perzinaan menjadi sebab seseorang dihukum cambuk. Gila
menjadi sebab hartanya dipegang oleh walinya. Jual beli menjadi sebab bagi
perpindahan kepemilikan barang.
Menurut
Hanafi, sebab terdiri dari enam macam, yaitu:
1)
Sebab
diluar usaha atau kesanggupan mukallaf, sebagaimana keadaan emergensi atau
darurat menjadi sebab memakan bangkai tidak berdosa.
2)
Sebab
yang disanggupi dan dapat diusahakan oleh mukallaf. Sebab yang demikian dibagi
dua, yaitu: (1) yang termasuk dalam hukum taklifi; (2) yang termasuk dalam
hukum wad’i.
3)
Mengerjakan
sebab berarti mengerjakan musabbanya, karena sebab itu tidak dinamakan sebab
kalau tidak untuk menghasilkan musabbanya. Contohnya, seseorang menikah akan
melahirkan hukum lain sebagai akibat dari adanya pernikahan, misalnya adanya
harta bersama, saling mewarisi dsb.
4)
Mengerjakan
sebab berarti mengerjakan musabbanya, disadari atau tidak. Seolah-olah orang
mengerjakan sebab dengan langsung mengerjakan musabbanya, meskipun musabbanya
itu bukan dari pekerjaannya. Dengan mengerjakan sebab, ia harus memikul resiko
perbuatannya yang menjadi musabbab, seperti qishah sebagai balasan dari
membunuh.
5)
Orang
mengerjakan sebab dengan sempurna sayarat-syaratnya, dan tidak terdapat
halangannya maka orang tersebut tidak dapat mengelakkan diri dari musabbanya.
Contoh membeli adalah sebab adanya hak milik, bagaimanapun ia tidak menghendaki
hak milik tersebut, ia tidak dapat lepas dari hak itu.
6)
Sebab-sebab
yang dilarang adalah sebab-sebab kerusakan atau keburukan, sebagaimana
kebalikannya sebab-sebab yang diperintahkan adalah sebab-sebab kebaikan dan
kemaslahatan. Conotoh larangan melakukan riba, karena ada orang yang tidak
berdaya, sedangkan perang di jalan Allah swt diperintahkan, meskipun perang
mendatangkan kerusakan jiwa dan harta benda.
b. Syarat.
Syarat
adalah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan berada
diluar hakekat sesuatu itu.
Contoh: Wudlu sebagai syarat sahnya
sholat. Si A berkata kepada si B: “Jika
kamu membantu saya maka hutangmu lunas.” Membantu di sini adalah sebagai
syarat hutang si B lunas. Menyarahkan ijazah sebagai syarat pendaftaran di
kampus STAIS dsb.
Syarat
dibagi menjadi 2 macam: Syarat haqiqi, yaitu syarat utama bagi pekerjaan lain yang
berhubungan langsung dengannya. Misalnya berwudu sebagai sayarat haqiqi bagi
adanya sholat, memiliki kemampuan “ongkos” sebagai prasyarat naik haji. Syarat Ja’li, adalah syarat yang ditetapkan
oleh mukallaf atau segala hal
yang dijadikan syarat oleh perbuatannya untuk mewujudkan perbuatan lain. Contoh
adanya masyrut, dan tidak
meniadakannya, seperti membayar kontan/kredit dalam jual beli, syarat ini boleh
dilakukan. Contoh lain, suatu pekerjaan yang bergantung pada sebab dan
syaratnya yang baku. Jika sebabnya dilakukan, tetapi syaratnya tidak, maka
pekerjaanya batal/tidak syah. Misalnya mengerjakan sholat karena sudah
waktunya, tetapi tidak berwudhu terlebih dahulu, atau sebaliknya sholat dengan
wudhu, tetapi belum tiba waktunya, maka pekerjaan tersebut batal/tidak syah.
c. Mani’
Mani’
adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syariat sebagai penghalang bagi adanya
hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Contoh: Membunuh istri sebagai
mani’(penghalang) suami tidak mendapat warisan istri. Haid sebagai
mani’(penghalang) seorang wanita mukallaf melakukan sholat. Hutang sebagai
mani’(penghalang) seseorang tidak wajib mengeluarkan zakat.
3. Hukum
Takhyiri
Takhyir adalah Syari’ (Allah
dan Rasul) memberikan pilihan kepada mukallaf untuk memilih melakukan atau
tidak melakukan suatu perbuatan[8].
Hukum yang terambil dari nash dengan gaya redaksi ini hukumnya adalah halal.
Artinya seorang mukallaf boleh melakukan/ meninggalkan. Dalam pembahasan ilmu
ushul hukum, takhyiri biasa disebut dengan mubah[9].
Redaksi Takhyiri antara lain:
a. Menyatakan
bahwa suatu perbuatan, halal dilakukan. Contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat 187
yang artinya “Dihalalkan bagimu pada
malam hari-hari puasa bercampur dengan istri-istrimu, mereka adalah pakaianmu
dan dan kamu adalah pakaian mereka...”
b. Pembolehan
dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, contoh dalam Surat al-Baqarah Ayat
173 yang artinya “Tetapi barang siapa
yang dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya, dan tidak pula
melampaui batas maka tidak ada dosa baginya (makan), sesungguhnay Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
c. Pembolehan
dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan, contoh dalam Surat
al-Baqarah Ayat 235 yang artinya “Dan
tidak ada kesalahan bagimu meminang wanita-wanita itu (dalam ’iddah wafat)
dengan sindiran atau kamu menyembunyi-kan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu...”
C.
Unsur-Unsur
Hukum Islam
Hukum dianggap ada jika telah terpenuhi
unsur-unsurnya, maka harus ada yang menetapkan hukum, adanya hukum yang
ditetapkan, perbuatan yang berkaitan dengan hukum itu sendiri dan siaoa yang
harus melaksanakan hukum. Dengan demikian unsur-unsur yang harus ada dalam
hukum syara’ ada empat macam,
yakni:
1. Al-Hakim,
yang menetapkan hukum
2. Mahkum
bih (Hukum yang ditetapkan), adanya tuntutan hukum yang bersifat pasti untuk
dikerjakan atau ditinggalkan
atau perbuatan yang dihukumkan. Perbuatan yang dihukumkan adalah hasil dari
pemaknaan dan pengungkapan maksud-maksud yang terkandung di dalam nash
Al-qur’an maupun Hadist. Nash-nash itu sendiri ada yang muhkamat[10] dan ada yang mutasyabihat[11],
sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Imran ayat 7:
“Dia-lah yang menurunkan Al kitab
(Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal”.
3. Makhum fih, adalah perbuatan yang
berkaitan dengan hukum. Syara’ memiliki 3 syarat: pertama, perbuatan
benar-benar diketahui oleh mukallaf,
sehingga ia dapat mengerjakan apa yang diperintahkannya. Jika ada ayat yang
global dan tidak jelas, maka mukallaf
tidak harus mengerjakannya. Kedua, tuntutan itu diyakini oleh mukallaf dari yang memang wajib membuat
tuntutan, yakni Allah SWT
atau Al-Hakim. Ketiga, perbuatan yang dituntutkan adalah yang sanggup untuk
dilakukan mukallaf.
4. Mahkum Alaih (Mukalaf yang dibebani hukum),
artinya mukalaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Dengan
demikian, mukalaf harus memahami daliltaklif (Tuntutan) dan ahli dengan sesuatu
yang dibebankan kepadanya.
D.
Tujuan
Hukum Islam
Maksud umum di syari’atkan Hukum islam menurut Abd
Wahab Khalaf adalah untuk merealisir kemaslahatan umat dalam rangka memenuhi
kebutuhan yang bersifat primer, sekunder dan tersier. Tujuan dari hukum menurut teori
dari Imam al-Ghazali yaitu teori Maqashid al-Syari’ah menjabarkan bahwa tujuan
hukum islam adalah untuk mencapai, menjamin dan melestarikan kemaslahatan umat
manusia. Untuk itu dicanangkan tiga skala prioritas yang berbeda tetapi saling
melengkapi: al-dharuriyyat, al-hajiyyat dan al-Tahsiniyat.
Pada perkembangannya, para ahli hukum islam
mengklasifikasikan tujuan-tujuan hukum menjadi tiga yaitu:
1. Tujuan
yang bersifat Primer (maqashid al-dharuriyyat)
Maqashid al-dharuriyyat didefinisikan sebagai tujuan
yang harus ada, yang ketiadaannya akan berakibat menghancurkan kehidupan secara
total. Artinya, bila sendi-sendi itu, tidak ada, kehidupan mereka menjadi kacau
balau, kemaslahatan tidak akan tercapai. Di sini ada lima kepentingan yang
harus dilindungi:
a. Hifdz
ad-din (perlindungan terhadap agama), Pemeliharaan agama pada dasarnya
merupakan pengistilahan dari cegahan murtad (riddahhi ruju’) artinya kembali.
b. Hifdz
al-Nafs (perlindungan jiwa), sebagai alasan pengharaman membunuh atau
menghilangkan nyawa orang lain tanpa alas an yang hak.
c. Hifdz
an-nasb (perlindungan terhadap
keturunan), merupakan pengistilahan dari perintah untuk menikah dan dilarangnya
perzinaan, karena perbuatan itu merusak keturunan (nasab).
d. Hifdz
al-aql (perlindungan terhadap akal), merupakan pengistilahan dari pencegahan
untuk mengkonsumsi minuman-minuman keras.
e. Hifdz
al-mal (perlindungan terhadap harta), merupakan pengistilahan dari cegahan
untuk mencuri, cegahan makan harta dengan cara batil.
2. Tujuan
yang bersifat Sekunder (Maqashid al-Hajiyyat), didefinisikan sebagai seuatu
yang dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang
termasuk dalam kategori al-dhauriyyat. Misalnya, membangun masjid untuk
menfasilitasi ibadah shalat sebagai tujuan primer.
3. Tujuan
yang bersifat Tersier (Maqashid al-Tahsiniyyat), merupakan sesuatu yang
kehadirannya bukan niscaya maupun dibutuhkan, tetapi bersifat memperindah.
Misalnya memperindah masjid.
E.
Metodologi
penemuan hukum islam
Dalam menentukan hukum islam diperlukan beberapa
metode. Mesti diingat kembali bahwa masalah utama yang mendorong ulama
untuk merumuskan berbagai teori dan
metode ijtihad adalah kenyataan abadi yang dihadapi oleh umat islam bahwa nash
al-Quran dan hadis terbatas secara kuantitatif padahal peradaban (peristiwa
hukum) selalu berkembang. Maka digunakan berbagai metode untuk menentukan hukum
islam , diantaranya:
1. Metode
Penafsiran teks hukum (interpretasi Literal).
Pada era kekinian, kebutuhan akan hukum kontemporer
mendesak keberadaannya, sementara teks hukum secara kuantitas terbatas, di
samping keputusan hukum baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah belum atau kurang
jelas. Oleh karena itu, diperlukan istimbat yang menggunakam dua pendekatan
yaitu: Bahasa yaitu mendekati sumber hukum dari segi kebahasaan dan Makna yaitu
mendekati hukum islam dari segi makna dan tujuan dibalik teks hukum.
2. Metode Ta’lili
Yaitu meneliti secara seksama apa yang dijadikan
dasar konsepsi (penetapan) hukum. Pondasi ini merupakan sebab adanya hukum
berupa alas an-alasan ditetapkannya hukum maupun tujuan hukum.
3. Metode Sinkronisasi
Metode ini diperlukan saat tejadi pertentangan
antara kandungan salah satu dalil dengan kandungan dalil dengan kandungan dalil
lain yang sama derajatnya.
Perubahan mendasar dalam kehidupan manusia sesuai
dengan perkembangan zaman selalu menuntut, pembaharuan, reformasi dan
reformulasi rumusan hukum. Jika tidak, hukum yang ada tidak mampu melahirkan
kemaslahatan bagi umat manusia, yang terjadi sebaliknya, hukum menjadi
pengekang dalam kemajuan umat. Seperti kasus zakat yang meniadakan zakat atas
pemilik kuda, hal
ini sangat tidak sesuai dengan jaman sekarang mengingat kuda digunakan sebagai
harta kekayaan. Hal ini tidak adil bagi peternak kambing yang diwajibkan zakat.
Selain masalah kuda juga tentang zakat tanaman yang sebatas terhadap tanaman
pokok sedangkan tanaman lain seperti cengkeh, coklat dan lain-lain mempunyai
nilai jual yang tinggi.
[1] Luqman Baabdu,
Islam Adalah Agama dan Sumber Hukum yang
Sempurna, http//islamhouse.com, diakses tanggal 26 Februari 2015.
[4] Beni
Ahmad Saebani, Januri, Fiqh Ushul Fiqh,
(Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm 209, dikutip dari Abdul Wahab Khalaf dalam
Ilmu Ushul Fiqh, 1989.
[5]MenurutProf.
Mahmud Syaltout; “Syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh
kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya
dan hubungannya dengan kehidupan.”Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam
kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian bahwa syari’ah
mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan
muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.
[7]A. Syafi’i Karim,
Fiqih Ushul Fiqih, Cet.I, (Bandung:Pustaka Setia, 1997) hlm. 107
[8]Adib Bisri,
Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999),
hlm. 181.
[9]Muhammad
al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh, terj.Faiz el Muttaqien (Jakarta: Pustaka
Amani, 2007), hlm. 63.
[10] Ayat yang muhkamaat ialah
ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[11] Termasuk dalam
pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa
pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah
diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang
mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya
ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain, atau bisa dikatakan ayat-ayat yang bermakna tidak
jelas.
No comments:
Post a Comment