BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan, kadang umat manusia cenderung lebih
banyak mengeluh, lebih-lebih ketika apa yang dihasilkan/diraih tidak sesuai
dengan harapan. Banyak orang bilang ketika pada posisi demikian mengatakan,
bahkan menjadi “candaan” yang membangun, yakni munculnya ungkapan “semua itu
tergantung dari niat”.
Jika dikaitkan dengan ajaran islam, ungkapan tersebut
sangat tepat dan jelas, mengingat dalam islam niat menjadi hal yang utama dan
pertama dari apa yang akan dilakukan, baik tentang amaliah, ibadah, maupun
muamalah. Baik hal-hal keduniaan maupun akhirat. Ungkapan “segala sesuatu itu
tergantung dari niat” bukan hanya sebuah motifasi belaka, melainkan jauh-jauh
hari Nabi SAW telah mengingatkan kepada kita semua untuk betul-betul
mengedepankan niat dalam perbuatannya, beliau bersabda, yang kurang lebih
artinya: sejatinya amal perbuatan itu
tergantung pada niat.
Niat merupakan landasan spiritual yang dapat
memberikan warna bagi sebuah tindakan baik bernuansa dunia maupun akhirat. Namun,
pentingnya niat sebagai landasan spiritual bagi semua tindakan/perbuatan ini
banyak dilupakan oleh banyak orang, bahkan yang notabanenya muslim. Dan bahkan
niat tidak dianggap sebagai sebuah hal yang penting dan dapat menentukan dari
apa yang kita harapkan.
Kita bisa lihat fenomena-fenomena dalam dunia ini,
misalnya banyak orang pintar, cerdas, kritis, namun tidak mempunyai moral yang
baik, hingga muncul adanya pejabat yang korup, seks bebas, narkoba dan
sebagainya merupakan fakta yang tak terbantahkan karena etika dan moralitas
yang rendah.
Kalau kita mau mengaitkan dan telaah lebih dalam,
sangat mungkin orang yang cerdas, kritis, namun “sesat” itu berawal dari
penguasaan ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi dengan niat yang baik.
Berkaitan dengan betapa penting dan utamanya niat,
al-Zarnuji seorang pemikir dan pencetus teori-teori pendidikan, menempatkan
niat pada posisi central bagi para pencari ilmu. Menurutnya, niat menjadi
pendorong bagi apa yang diniatkan, dan dorongan itu akan melahirkan semangat
terhadap apa yang dicita-citakan[1].
Betapa pentingnya niat dalam segala tindakan, di bawah
ini akan dibahas tentang niat dan ruang lingkupnya, sehingga mudah-mudahan
dapat memberikan sedikit gambaran bagi kita semua akan pentingnya niat dari apa
yang akan kita kerjakan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Niat
2.
Hadis
Tentang Niat
3.
Riwayat
Hadis Tentang Niat
4.
Pelajaran
Yang Dapat Diambil Dari Niat
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Niat
Niat
atau niyyat, seperti yang dikutip dalam bukunya teungku hasbi as shidieqy
(mutiara hadis 1),menurut bahasa adalah tujuan hati dan kehendak hati. Menurut
syara’
ialah bergeraknya hati kearah sesuatu pekerjaan untuk mencapai keridhaan allah
dan untuk menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Al
baidhawy berkata:
niat itu ialah bergeraknya hati untuk engerjakan ssuaatu yang dipandang baik,
untuk sesuattu maksud, baik untuk menarik sesuatu manfaat ataupun untuk menolak
sesuatu mudharat, dalam waktu yang cepat atau dalam waktu yan akan datang.
Syara menentukan niat dengan iradat (kehendak hati) yang mengarah kepada
pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menuruti perintahnya.
Ibnu Qayyim dalam kitabnya Iqatsatul Lahfun, mengatakan
niat adalah bermaksud melakukan sesuatu[3].
Kebanyakan
ulama mutaakhirin Syafi’iyah mengartikan niat syar’iyah (niat yang dipandang
syara) dengan “menghendaki sesuatu, bersamaan dengan mengerjakannya”.
Pengertian
niat dalam ensiklopedi hukum islam secara semantis berarti maksud, keinginan
kehendak, cita-cita, tekad dan menyengaja. Secara terminologis ulama fiqh
mendifinisikan dengan “tekad hati untuk melakukan sesuatu perbuatan ibadah
dalam rangka mendekatkan diri semata-mata kepada Allah[4].
Niat, kemauan dan tujuan merupakan rangkaian yang
terajut dalam satu pengertian, yaitu suatu kondisi dan sifat hati yang
menghubungkan dua hal yaitu ilmu dan amal[5].
B. Hadits
Tentang Niat
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِى حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّا بِ يَنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ رَزَ احِ
بْنِ عَدِ يِّ بْنِ عَدِ يِّ بْنِ كَعْنِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ
الْقُرَيْثِىِّ العَدَ وِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَاللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أِنَّمَااْلأَ عْمَالُ بِالنِيَاتِ
وَأِ نَّمَا لِكُلِّ اْمْرِىءٍِ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَ تُهُ أِلَى اللهِ
وَرَ سُوْ لِهِ فَهِجْرَ تُهُ أِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَ
تُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْامْرَ أَ ةٌ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَ تُهُ أِلَى مَا
هَجْرَ أِلَيْهِ. (متفق على صحته)
“Dari Amir AL-Mu’min, Abu Hafs
Umar bin Al-Khathtab r.a. bin Nufail, bin abdul Uzza, Bin Riyah, bin Abdullah
bin Qurd Rajah bin “Adiy Ka’ab bin Luay, bin Galib keturunan Quraisy Al-Adawy,
dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah SAW telah bersabda “Sesungguhnya sah
atau tidaknya suatu amal, bergantung pada niatnya. Maka barang siapa hijarhnya karena (untuk) Allah dan Rasul Nya,
maka pahala hijrahnya berpulang kepada Allah dan Rasul Nya, dan barang siapa
yang hijrahnya itu untuk suatu (keperluan dan kepentingan harta) dunia yang
hendak dicapainya atau karena (untuk mendapatkan) seorang perempuan yang hendak
dikawininya, maka hijrahnya itu (kembali dan berpulang) pada apa yang
diniatinya itu” (Bukhari Muslim)[6].
1.
Asbab Al- Wurud
Hadis Tentang Niat
Rasulullah SAW mengeluarkan hadis
diatas (asbab al-wurud)-nya adalah untuk menjawab
pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya rasulullah
SAW. dari Mekkah ke Madinah,
yang diikuti oleh sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu ada salah seorang
laki-laki yang turut serta berhijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk
kepentingan perjuangan islam melainkan hendak menikah dengan seorang wanita
yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya telah bertekad akan turut hijrah,
sedangkan laki-laki tersebut pada mulanya memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais
hanya bersedia dikawini ditempat tujuan hijrahnya Rasulullah SAW. yakni
Madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan
kepada Rasulullah SAW,apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau
tidak, Rasullah SAW menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadis diatas[7].
Dalam hadis ini Rasulullah SAW
menegaskan secara khusus, bahwa tiap-tiap perbuatan bergantung kepada dorongan
hati (kesengajaan) pelakunya. Kemudian beliau mengambil contoh berupa perbuatan
(amal) hijrah.
Hijrah para sahabat dan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah
adalah atas perintah Allah. Melakukan perintah Allah adalah ibadah. Tetapi
kalau di dalam melakukan perintah Allah itu maksudnya atau kesengajaannya untuk
mendapatkan keuntungan dunia atau materi, seperti istri, harta, pangkat,
kemasyuran, pujian dan lain-lain, maka perbuatan tersebut tidak akan mendapat
pahala dari Allah. Bahkan ia akan mendapatkan dosa, sebab Allah menyatakan
bahwa tiap-tiap orang dalam melekukan perintahnya harus bersikap ikhlas, bersih
dari pamrih keduniaan[8].
2. Biografi Perawi
Umar bin al-Khatab
Umar Ibnul Khaththab yang terkenal
juga dengan nama Kuniyah (julukan) Abu Hafshin (pak singa) adalah khalifah yang
pertama mendapat gelar kehormatan yang tertinggi Amirul Mu’minin. Beliau
dikuniyahkan Abu Hafshin lantaran keberanian dan kerasnya kemauannya. Hadis
yang diriwayatkan Rasulullah SAW sebanyak 537 buah. Dari jumlah tersbut yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebanyak 26 buah, yang diriwayatkan oleh
Bukhari sendiri sebanyak 34 buah, sedangkan yang diriwayatkan oleh Muslim
sendiri 21 buah[9].
Imam Muslim
Beliau adalah Abul Husain, Muslim bin
al-Hajjaj dan suku Quraisy di negeri An Nissabury. Karena itu beliau terkenal
dengan kata nisab Qusyairy. Sejak kecil, Abul Husain mempelajari pengetahuan
tentang hadis-hadis di daerah Khurasan, Iraq, dan Hijaz dari ratusan
ulama-ulama besar. Para ahli berpendapat beliaulah yang sejajar dengan Imam
Bukhari dalam penthal hadis,
sekalipun beliau murid Imam Bukhari. Kitab sahihnya adalah kitab yang paling
rapi dalam sistem penyusunan dan kemurnian sanadnya. Dalam hal inilah sahih
muslim melebihi sahih bukhari[10].
3.
Penjelasan Hadis
Islam
adalah agama yang tidak pernah mengajarkan adanya pekerjaan sia-sia, sehingga
tidak satu pekerjaan pun yang boleh dilakukan setengah hati. Setiap pekerjaan
harus diselesaikan secara serius dengan metodologi dan orientasi yang jelas.
Dalam islam , semua kerja (amal) memiliki nilai dan akan dicatat sebagai ibadah
dihadapan Allah, karena
pada hakikatnya nilai amal ibadah manusia kembali kepada si pemiliknya dan
tergantung kepada niatnya.
Dalam hadis tersebut di atas, yang dimaksud hijrah
ialah pindah dari Kota Mekah, yang waktu itu sebagai kota orang kafir, pindah
ke Kota Madinah, kotanya orang-orang islam. Waktu itu hijrah adalah tindakan
yang paling tepat, sebab Mekah didalam kekuasaan orang-orang musyrik, sehingga
dengan hijrah itu memungkinkan orang islam menegakkan syi’ar islam dengan
sempurna dan leluasa, mendengarkkan wahyu yang turun kepada Rasulullah saw.
ketik umat islam menaklukan kota Mekah pada tahun kedelapan dan Mekah pun
menjadi kota beriman, maka tidak diperlukan lagi hijrah.
Pada intinya hadis tersebut mengajak kita untuk
mengerjakan berbagai urusan yang luhur lagi tinggi nilainya, menyuruh kita
ikhlas dalam perbuatan, taat dan memerinthakna kita untuk berbakti pada agama,
meskipun harus meninggalkan kampong halaman, harta kekayaan dan keluarga.
Hadist itu juga menjelsakan bahwa sesungguhnya amal perbuatan itu tidak cukup
dilihat dari segi lahirnya saja, bahkan yang mendorong melakukannya (niat)
itulah yang mempunyai pengaruh besar da dalam penilaian tinggi rendahnya
derajat serta mendapatkan imbalan atau siksa[11].
Karena
itu tidak ada pekerjaan yang dilakukan tanpa niat dan perencanaan yang jelas.
Niat dalam khazanah ilmu fiqh adalah disebut pemicu ruh dan inti ibadah. Niat
menjadi tolak ukur diterima tidaknya ibadah seorang hamba. Suatu amal yang
tidak didasari niat yang benar dianggap tidak bernilai. Sebab terdapat dua
kemungkinan bagi seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan. Pertama, ada
orang yang mengerjakan suatu pekerjaan tanpa tujuan, tanpa aturan sebagaimana
layaknya robot atau mesin. Kedua, ada yang melekukan suatu perbuatan
dengan penuh kesadaran dan memiliki tujuan yang jelas. Niatlah yang akan
mengantarkan seseorang agar memasuki kelompok kedua[12].
C. Pelajaran
Yang Bisa Diambil
Niat
merupakan unsur yang sangat menentukan dalam keabsahan suatu amal ibadah dan
menentukan keabsahan suatu ibadah dan beberapa jenis muamalah. Menurut
istilahnya ialah kehendak hati untuk melakukan perbuatan tertentu untuk mencari
keridhaan Allah dan meleksanakan hukumnya. Yang dikatakan niat menurut para fuqaha
ialah sesuatu kehendak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan berbarengan dengan
pelaksanaannya.
Disepakati
bahwa tempat niat adalah dalam hati dan dilakukan pada permulaan melakukan
perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat berperan penting dalam ajaran
islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan perintah syara, atau menurut
sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung harapan untuk mendapatkan pahala
dari Allah. Niat akan menentukan nilai, kualitas serta hasilnya, yakni pahala
yang akan diperolehnya.
Orang
yang berhijrah dengan niat ingin mendapat keuntungan dunia atau ingin mengawini
seorang wanita, ia tidak akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Sebaliknya
kalau orang hijrah karena ingin mendapat ridha Allah maka ia akan
mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan diraihnya[13].
Berkaitan dengan hadis tersebut, pelajaran yang dapat
diambil anatara lain:
1.
Niat
difungsikan untuk membedakan perbuatan-perbuatan yang semata-mata
berdasarkan kebiasaan dengan perbuatan-perbuatan ibadah.
2.
Niat
pada intinya dapat membedakan martabat, nilai ibadah dari
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang[14].
3.
Bahwa
apa yang dilakukan oleh seseorang kadang tidak sesuai dengan harapan itu bisa
karena faktor niat yang tidak ikhlas, atau bukan niat yang sebenarnya, misalnya
melakukan ibadah lebih kepada dengan niatan riya/pamer.
4. Allah akan melipatgandakan dari niat kebaikan yang
dilaksanakan. Rasulullah saw bersabda, yang artinya: Dari Abbul Abbas, Abdullah Bin Abbas bin Abdul Muthalib ra, dari
Rasulullah saw tentang hadis yang diriwayatkan dari Tuhannya, Allah Tabaroka
Wata’ala (Maha berkah dan Maha luhur) berfirman: sesungguhnya Allah menetapkan
beberapa kebaikan dan keburukan, kemudian Ia menetapkan yang demikian itu. Maka
barang siapa yang berniat hendak melakukan kebaikan tetapi ia tidak jadi
melakukannya, Allah tetap akan mencatatnya di sisi Nya satu kebaikan yang
sempurna, dan jika ia berniat hendak melakukan satu kebaikan lalu ia jadi
mengerjakannya, maka Allah mencatat sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali
lipat bahkan berlipat-lipat, dan jika ia berniat hendak melakukan kejahatan
tapi tidak jadi dilaksanakan, maka Allah mencatatkan di sisi Nya satu kebaikan
yang sempurna, tetapi jika ia berniat hendak mengerjakan satu kejahatan lalu
jadi dilaksanakannya, maka Allah akan mencatatnya satu kejahatan[15].
5. Orang yang meniatkan pekerjaannya untuk Allah dan
Rasul, niscaya akan mendapatkan dua hasil yakni dunia dan akhirat, tapi
sebaliknya seseorang yang meniatkan pekerjaannya hanya untuk dunia, niscaya dia
akan mendapatkan imbalan dunianya saja.
6. Niat mempunya pengaruh yang sangat luar biasa dalam
amal/ibadah seseorang, dan menjadi syarat dari apa yang dikerjakan seseorang,
hingga diterima atau tidak amal
tersebut.
7. Niat menjadi landasan tercapai atau tidaknya sebuah
harapan, karena niat itu sama halnya menjadi motivasi dari apa yang akan
dikerjakan.
8. Niat yang ikhlas akan menjadi pembela dan mendapatkan
pengampunan dari Allah swat. Rasulullah saw bersabda, yang artinya: Niat yang benar (tulus) bergantung di arsay,
apabila seorang hamba melaksanakan niatnya itu, maka arsy berguncang karenanya,
lalu ia mendapat ampunan (Riwayat Al-Khatib melalui Ibnu Umar r.a[16].
9. Para ulama sepakat bahwa niat adalah syarat mutlak agar
suatu amal diganjar atau dibalas dengan pahala. Rasulullah saw bersabada: Amirul
Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khaththab r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Segala perbuatan tergantung
pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan (pahala) apa yang
diniatkannya. Barangsiapa berhijrah (ke Madinah) untuk mencari ridha Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah
untuk mencari harta dunia atau untuk seorang perempuan yang hendak dinikahi,
maka hijrahnya hanya untuk itu (tidak mendapatkan pahala di sisi Allah)’.” (Muttafaq
alaihi)[17]. Namun,
apakah niat merupakan syarat sahnya suatu amal atau perbuatan, Ulama Syafi’iyah
menyebutkan, “Niat adalah syarat sahnya
suatu amal atau perbuatan yang bersifat ‘pengantar’ seperti wudhu, dan yang
bersifat ‘tujuan’ seperti shalat”. Ulama Hanafiyah menyebutkan, “Niat hanya
syarat sahnya amal atau perbuatan yang bersifat ‘tujuan’, dan bukan
‘pengantar’.”
DAFTAR PUTAKA
Muri’ah Siti, Metode
Pendidikan dan Pengajaran dalam Islam Perspektif al-
Zarnuji, Semarang: Rafi Sarana Perkasa, 2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), ed
3. cet. 4, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Kuraedah St.,Hadis Tarbawi, Kendari
:Istana Profesional,2008.
Juwariyah, Hadis Tarbawi, Yogyakarta:
Teras, 2010.
Ahnan Maftuh Asy, Kumpulan
Hadits Terpilih Shahih Bukhari, Surabaya: Terbit
Terang, 2003.
Syafe’i Rachmat,Al-Hadis, Bandung:Pustaka
Setia,2000.
M. Thalib,Butir-Butir Pendidikan
Dalam Hadis, Surabaya:al-Ikhlas.
Sulaiman Noor PL, Hadis-Hadis
Pilihan Kajian Tekstual dan Kontekstual,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.
Noer Jefry,Shalat
Yang Benar, Jakarta:Prenada Media,2006.
Sabiq Sayyid, Fiqih Sunah, Jilid I, terj. Ahmad Shidiq
Thabrani dkk, Jakarta: Pena Pundi
Aksara,
2010.
Ahmad Sayyid Al-Hasyimi, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits, Terj. Moch. Anwar
dkk, Bandung: Percetakan Sinar Baru Algesindo, 2007.
[1] Siti
Muri’ah, Metode Pendidikan dan Pengajaran
dalam Islam Perspektif al-Zarnuji, (Semarang: Rafi Sarana Perkasa, 2013),
hlm 91.
[2] Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), ed 3. cet. 4, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm
782.
[3] Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunah, Jilid I, terj.
Ahmad Shidiq Thabrani dkk, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2010), hlm 222
[6] Maftuh
Ahnan Asy, Kumpulan Hadits Terpilih
Shahih Bukhari, (Surabaya: Terbit Terang, 2003), hlm 137.
[9] Noor
Sulaiman PL, Hadis-Hadis Pilihan Kajian
Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), hlm 47.
[13]Syafe’I,Al-Hadis…,hlm.56-57
[14]Kuraedah,…hlm.61
[16] Sayyid
Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul
Ahaadiits, Terj. Moch. Anwar dkk, (Bandung: Percetakan Sinar Baru
Algesindo, 2007), hlm 919.
[17]
Maftuh Ahnan Asy, Kumpulan Hadits
Terpilih Shahih Bukhari,…hlm 138
No comments:
Post a Comment