Resume pancasila
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecepatan
perubahan sosial dalam berbagai masyarakat berbeda-beda. Perubahan dalam
masyarakat yang terpencil berjalan lambat, akan tetapi bila dengan terbukanya
komunikasi dan transportasi daerah itu berkenalan dengan dunia modern, maka
masyarakat ini akan berkembang dengan lebih cepat. Ada aspek-aspek kebudayaan
seperti adat-istiadat yang disampaikan turun-temurun dalam bentuk aslinya, akan
tetapi banyak pula adat kebiasaan yang mengalami perubahan, terutama dalam
masyarakat modern.
Disamping itu terdapat perbedaan kecepatan perubahan dalam
aspek kehidupan masyarakat. perubahan
mengenai benda-benda materiil seperti alat-alat, pakaian, hasil industri
misalnya mobil dan sebagainya, sangat cepat, orang senantiasa mencari barang
yang paling modern dan paling baru. Barang-barang yang ketinggalan zaman segera
ditukarkan dengan yang baru. Sebaliknya terdapat hambatan dan tantangan yang keras terhadap perubahan
dalam agama, adat istiadat,
nilai-nilai,norma-norma, bentuk pemerintahan, filsafat hidup dan sebagainya.
Usaha untuk mencegah tidak selalu mudah karena sering ada hubungan
antara perubahan materiil dan dengan perubahan kultural. Dibukanya jalan raya
ke daerah terpencil, terbukanya desa bagi surat kabar, radio, TV,dan film
membawa perubahan berbagai aspek kebudayaan. Pola hubungan antara manusia
seperti pergaulan antara anak dengan orang tua, hubungan antar seks, dan
sebagainya, sering mangalami perubahan yang sukar dielakkan. Demikian pula
pendidikan dan sekolah tak luput dari perubahan, karena pendidikan senantiasa
berfungsi di dalam dan terhadap sistem sosial tempat sekolah itu berada.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah Perubahan sosial dan pendidikan ?
2.
Apa saja ruang lingkup perubahan sosial ?
3.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan
sosial?
4.
Apa saja teori-teori perubahan sosial ?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Sosial
2.1.1 Pengertian Perubahan
Sosial
Secara umum, perubahan sosial adalah situasi sosial yang di
dalamnya terjadi ketidaksesuaian diantara unsur-unsur sosial yang saling
berbeda, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya
bagi masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Prof. Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan
yang terjadi pada lembaga-lembaga masyarakat di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap
dimana pola-pola peri kehidupan diantara kelompok-kelompok
di dalam masyarakat.
Perubahan sosial menurut Kingsley Davis adalah perubahan yang
terjadi pada suatu struktur dan fungsi masyarakat.
Gillin dan Gillin mendefinisikan perubahan sosial sebagai variasi
dan cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan oleh perubahan
geografis, kebudayaan dan penemuan baru dalam masyarakat.
Sedangkan menurut Mac. Iver, perubahan sosial adalah perubahan
dalam hubungan-hubungan sosial atau perubahan terhadap keseimbangan hubungan
sosial tersebut.
2.1.2
Ruang
Lingkup Perubahan Sosial
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, dapat mencakup berbagai aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, dapat mencakup berbagai aspek kehidupan, antara lain sebagai berikut:
1.
Struktur sosial dan ekonomi
2.
Nilai-nilaidan norma
3.
Pola-pola perikehidupan dalam interseksisosial
4.
Stratifikasi sosial dan kekuasaan
5.
Lembaga-lembaga social
6.
Sistem organisasi kemasyarakatan
7.
Unsur-unsur kebudayaan baru
2.1.3
Karakteristik Perubahan Sosial
Jika terjadi perubahan
sosial, maka akan segera diketahui masyarakat, karena perubahan tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Tidak satupun masyarakat yang stagnant (berhenti/beku)
2.
Setiap terjadi perubahan pada lembaga sosial
tertentu, akan diikuti oleh lembaga-lembaga lainnya.
3.
Perubahan sosial yang terlalu cepat dan
masyarakatnya belum siap, akan mengakibatkan disintegrasi sosial.
4.
Perubahan tidak dapat diisolasikan pada aspek
material atau spiritual saja, sebab keduanya saling berkaitan.
5.
Masyarakat itu dinamis dan memiliki faktor-faktor yang mendorong meng hambat perubahan,
tetapi faktor pendorongnya lebih kuat. Akibatnya kecenderungan masyarakat
berubah lebih besar daripada kecenderungan bertahan.
2.1.4 Teori Perubahan Sosial
1. Teori Siklus
Menurut teori siklus, proses
peralihan masyarakat tidak berakhir pada tahap akhir yang sempurna, melainkan
berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan tahap berikutnya. Pada teori
ini, perubahan sosial tidak dapat direncanakan atau diarahkan ke suatu titik
tertentu, tetapi berputar-putar menurut pola melingkar. Jadi, perubahan sosial
sebagai sesuatu yang berulang-ulang.
2. Teori Perkembangan
Teori perkembangan
disebut juga teori linier. Menurut pendapat teori ini, bahwa perkembangan
menuju suatu arah/titik tertentu, yang dimulai dari tahap
perkembangan awal menuju tahap perkembangan akhir.
Teori linier dibagi
menjadi dua, yaitu teori evolusi dan revolusi. Teori evolusi melihat
perkembangan secara lambat, sedangkan menurut teori revolusi, perubahan terjadi secara drastis (cepat).
1. Teori Fungsional dan Konflik
Teori fungsional
memandang bahwa perubahan sosial sebagai sesuatu yang tetap atau permanen dan
tidak memerlukan penjelasan. Perubahan sosial dianggap mengacaukan keseimbangan
rakyat. Proses pengacauan tersebut berhenti pada saat
perubahan yang ada telah diintegrasikan ke dalam kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan. Perubahan yang bermanfaat (fungsional) akan diterima, dan
perubahan yang tidak bermanfaat (disfungsional) akan ditolak. Teori konflik menilai
bahwa yang konstan adalah konflik sosial bukan perubahan. Perubahan hanyalah
akibat dari adanya konflik. Jika konflik berlangsung terus-menerus, maka
perubahan juga akan terus berlangsung.
2. Teori Unilinier
Teori ini menyatakan
bahwa masyarakat berkembang dari tahap sederhana
menuju kearah kompleks dan akhirnya mencapai kesempurnaan.
3. Teori Universal
Teori ini menyatakan
bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui tahap-tahap yang tetap.
Karena masyarakat selalu berkembang dari kelompok homogeny menuju masyarakat yang heterogen.
4. Teori Multilinier
Teori ini menekankan pentingnya penelitian
terhadap perkembangan tertentu dalam proses evolusi. Misalnya peralihan
masyarakat berburu ke masyarakat bercocok tanam dengan implikasi kekeluargaannya.
2.1.5
Faktor yang Mempengaruhi Terhadap Penerimaan Perubahan
1. Sifat masyarakat
2. Struktur sosial masyarakat
3. Kesesuaian antara unsur-unsur perubahan dengan norma dan nilai
4. Skala dan manfaat
dari unsur-unsur baru (perubahan) pada masyarakat
5. Ada tidaknya unsur
budaya yang menjadi landasan bagi unsur budaya baru
2.1.6
Faktor-faktor Penyebab Perubahan Sosial
Menurut Prof. Soerjono
Soekanto, ada dua penyebab utama terjadinya perubahan sosial,yaitu faktor intern dan ekstern.
1. Faktor-faktor Intern Perubahan Sosial
Bertambah atau berkurangnya penduduk
Bertambahnya penduduk
yang cepat akan menimbulkan perubahan pada struktur dan lembaga kemasyarakatan,
misalnya menyangkut sistem hak milik tanah, sistem bagi hasil, upah buruh tani
dengan uang dan sebagainya. Berkurangnya penduduk sebagai akibat dari migrasi
atau bencana alam akan menimbulkan perubahan pembagian kerja, stratifikasi
sosial, organisasi sosial/kekerabatan.
Penemuan-penemuan baru
a. Penemuan baru ada 2 macam, yaitu:
Discovery, yaitu penemuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Contoh: penemuan mesin uang dan listrik pertama kali. Penemuan ide/alat baru tersebut belum dikembangkan lebih lanjut, sehingga belum mendapat pengakuan secara luas (belum membudaya).
Discovery, yaitu penemuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Contoh: penemuan mesin uang dan listrik pertama kali. Penemuan ide/alat baru tersebut belum dikembangkan lebih lanjut, sehingga belum mendapat pengakuan secara luas (belum membudaya).
b. Invention, yaitu
penemuan baru yang sudah dikembangkan lebih lanjut, sehingga telah diakui dan
digunakan secara luas oleh masyarakat. Contoh:
diciptakannya kereta api yang menggunakan system kerja mesin uap.
Pertentangan di dalam masyarakat
Konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat menyebabkan
perubahan sosial. Contoh: konflik antar
generasi mengenai adat istiadat,dapat mengakibatkan mengendornya ikatan
tradisional bagi generasi muda, perubahan proses mencari jodoh dan upacara
perkawinan.
Terjadinya pemberontakan atau revolusi di dalam masyarakat
Contohnya, meletusnya revolusi 17 Agustus di Indonesia telah mengakibatkan berbagai macam perubahan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya).
Contohnya, meletusnya revolusi 17 Agustus di Indonesia telah mengakibatkan berbagai macam perubahan (ideologi, politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya).
2. Faktor-faktor Ekstern Perubahan Sosial
Berubahnya lingkungan alam
Contoh: berubahnya daerah hutan di Tembagapura menjadi pusat
pertambangan batu bara telah mengubah struktur soaila, ekonomi, dan budaya di
daerah itu. Begitu pula dengan dibukanya hutan menjadi daerah pemukiman
transmigrasi, suatu lokasi pedesaan dijadikan obyek wisata yang
ramai dan sebaginya.
Peperangan dengan bangsa lain
Dalam peperangan, pihak yang kalah dipaksakan mengikuti sistem
politik/ideologi, sosial dan budaya terhadap bangsa yang menang. Contoh: Jepang
setelah lalah Perang Dunia II harus berubah dari negara militer menjadi Negara industri.
Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
Sistem pendidikan tradisional dulunya secara
individual dan tanpa kurikulum. Setelah mendapat pengaruh kebudayaan barat,
akhirnya berubah menjadi sisitem klasikal dengan kurikulum dan sarana yang
lengkap. Masuknya suatu kebudayaan ke dalam masyarakat lain melalui cara-cara
difusi, akulturasi dan penetrasi.
2.1.7
Faktor-Faktor Pendorong Perubahan Sosial
Menurut Prof. Soerjono Soekanto, ada 9 faktor pendorong, yaitu:
1. Adanya kontak dengan
kebudayaan lain yang lebih maju. Contoh: para urban yang kembali ke desa dengan membawa budaya kota.
2. Sistem pendidikan yang
maju, karena didalamnya memuat berbagai informasi, nilai, norma dan unsur budaya yang maju
3. Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan untuk maju.
4. Sistem stratifikasi sosial yang terbuka (demokrasi).
5. Sikap toleransi terhadap penyimpangan.
Lama-kelamaan masyarakat tidak puas kemudian melakukan perubahan.
6. Penduduk yang heterogen.
7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu.
8. Orientasi ke masa depan.
9. Nilai meningkatkan taraf
hidup.
2.1.8
Faktor-Faktor Penghambat Perubahan Sosial
1. Kurangnya hubungan
dengan masyarakat lain, sehingga tidak mengetahui
perubahan/kemajuan di luar masyarakatnya.
2. Terbelakangnya pendidikan dan ilmu pengetahuan.
3. Sikap masyarakat yang masih tradisional.
4. Adanya vested interest
(kepentingna yang sangat kuat dan tersembunyi)
5. Rasa takut akan terjadi kegoyahan jika terjadi perubahan.
6. Ikatan adat-istiadat dan kebiasaan yang masih kuat.
7. Prasangka buruk terhadap unsur-unsur asing yang masuk.
8. Hambatan yang bersifat
ideologis (yang tidak sejalan dengan ideologi atau sistem nilai budaya).
9. Nilai-nilai bahwa hidup
ini pada hakekatnya buruk dan tidak mungkin
diperbaiki.
2.1.9 Bentuk-Bentuk Perubahan Sosial
1. Perubahan secara lambat (evolusi)
Perubahan ini berjalan sangat lambat, berubahnya sedikit demi sedikit, dari
keadaan sederhana ke arah makin sempurna dan memakan waktu yang sangat lama.
2. Perubahan secara cepat
Perubahan ini berjalan
cepat, waktunya relatif singkat dan meliputi berbagai segi kehidupan yang
mendasar. Contoh: Revolusi 17 Agustus 1945 di Indonesia.
3. Perubahan yang pengaruhnya besar dan kecil
3. Perubahan yang pengaruhnya besar dan kecil
Perubahan yang
pengaruhnya besar, adalah perubahan yang meliputi aspek- aspek kehidupan yang
penting dan berdampak besar bagi masyarakat. Contoh:Perubahan system pendidikan nasional.
Perubahan yang
pengaruhnya kecil, adalah perubahan yang hanya meliputi sebagian kecil dari
aspek kehidupan masyarakat dan mempunyai
pengaruh yang kecil bagi masyarakat. Contoh: Perubahan mode rambut, mode
pakaian dan sebagainya.
4. Perubahan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki
Perubahn yang
dikehendaki perlu dibuat perencanaan yang matang, disiapkan para personal
pelaksana yang handal, disiapkan sarana prasarana dan biaya yang memadai,
ditetapkan sasaran yang hendak dicapai, dibentuk satuan pengawasan yang
efektif, evaluasi yang obyektif dan sebagainya. Contoh: Pembangunan nasional di
segala bidang. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan yang direncanakan
disebut agent of change.
Perubahan yang tidak
dikehendaki adalah perubahan yang tidak direncanakan, akan tetapi dengan
sendirinya sesuai dengan perubahan zaman atau tuntutan kebutuhan masa kini.
Contoh: perubahan
Kerajaan Yogyakarta yang feodalistik menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
yang demokratis (dikehendaki), mengakibatkan para pamong praja kehilangan
wewenang atas pemerintahan desa, para bangsawan juga turun
status sosialnya (ini peruhan yang tidak dikehendaki).
5. Perubahan yang bersifat progres
Yaitu perubahan yang
membawa kebaikan, kemudahan, keuntungan bagi kehidupan masyarakat pemakainya.
Contoh: ditemukannya computer untuk mempermudah dalam penyampaian, pengolahan
dan penemuan data.
6. Perubahan yang bersifat regres
6. Perubahan yang bersifat regres
Yaitu perubahan yang
justru membawa akibat kemunduran/kurang menguntungkan pada bidang-bidang
tertentu bagi masyarakat pamakainya. Contoh: ditemukannya fasilitas internet
yang disalah gunakan untuk mengakses pornografi, pencurian dan pembobolan bank.
2.1.10 Macam-macam Proses Perubahan Sosial
a) Akulturasi adalah
pengambilan pengambilan kebudayaan asing ke dalam masyarakat sendiri dengan
tidak mengubah kepribadian atau budaya dasar masyarakat yang bersangkutan.
b) Asimilasi adalah proses
social yang timbul jika ada dua atau lebih masyarakat dengan kebudayaan yang
berbeda yang saling berinteraksi secara intensif dalam waktu lama, sehingga
melahirkan corak kebudayaan baru yang berbeda dengan budaya asalnya.
c) Difusi adalah penyebaran
kebudayaan dari suatu masyarakat ke masyarakat lain secara estafet.
d) Discovery adalah
penemuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.
e) Invention adalah
penemuan baru yang sudah dikembangkan lebih lanjut, sehingga telah diakui dan
digunakan secara luas oleh masyarakat.
f) Inovasi meliputi discovery dan invention.
g) Modernisasi adalah
proses perubahan tradisi, sikap, dan system nilai dalam rangka menyesuaikan
diri dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa lain, sehingga suatu bangsa
dapat bertahan secara wajar di tengah-tengah tekanan berbagai masalah hidup di dunia dewasa ini.
h) Globalisasi adalah suatu
system atau tatanan yang menyebabkan seseorang atau Negara tidak mungkin untuk
mengisolasikan diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi
dunia. Atau suatu kondisi dimana tidak ada lagi batas-batas antara satu Negara
dengan Negara lain dalam hal teknologi komunikasi
2.2
Implikasi Perubahan
Sosial Pada Penyelenggaraan Pendidikan
Adanya pendidikan dapat mempengaruhi perubahan
sosial, yang mana perubahan sosial nantinya akan mempunyai fungsi(1) melakukan
reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural
terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan
atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan
perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi
tradisional yang telah ketinggalan.
Sekolah berperan sebagai reproduksi budaya yang
maksudnya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi
semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang
lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.
Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial. Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.
Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial. Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.
Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi
sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya
(cultural diffussion). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil
tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut
bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi
juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya
itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
Pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka
untuk meningkatkan kemampuan analisis kritis yang berperan untuk menanamkan
keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia.
Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru
dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah
pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan.
Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari
ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka
yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh kemerdekaan
politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo Friere. Dalam
banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa
telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah
berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu
telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah
pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru
lainnya.Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan
modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan
berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pribadi seperti sikap
berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan
nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik,
sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga
ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang
berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan
sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan
penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga
ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan.
Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara
objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang
kompetitif.
Salah satu kekuatan perubahan yang sangat kuat
dan sering tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah
pendidikan.Walaupun pendidikan dimanapun merupakan lembaga sosial
yang terutama berfungsi untuk mempersiapkan anggotanya menjadi warga yang
trampil dan bertanggung jawab dengan penanaman dan pengukuhan norma sosial dan
nilai-nilai budaya yang berlaku, namun akibat sampingannya adalah membuka cakrawala
dan keinginan tahu peserta didik.Oleh karena itulah pendidikan dapat menjadi
kekuatan perubahan sosial yang amat besar karena menumbuhkan kreativitas peserta
didik untuk mengembangkan pembaharuan (innovation).
Di samping kreativitas inovatif yang membekali
peserta didik, keberhasilan pendidikan menghantar seseorang untuk meniti
jenjang kerja membuka peluang bagi mobilitas sosial yang bersangkutan. Pada
gilirannya mobilitas sosial untuk mempengaruhi pola-pola interaksi sosial atau
struktur sosial yang berlaku. Prinsip senioritas tidak terbatas pada usia,
melainkan juga senioritas pendidikan dan jabatan yang diberlakukan dalam menata
hubungan sosial dalam masyarakat.
Dengan demikian pendidikan sekolah sebagai unsur
kekuatan perubahan yang diperkenalkan dari luar, pada gilirannya menjadi
kekuatan perubahan dari dalam masyarakat yang amat potensial. Bahkan dalam
masyarakat majemuk Indonesia dengan multi kulturnya, pendidikan mempunyai
fungsi ganda sebagai sarana integrasi bangsa yang menanamkan saling pengertian
dan penghormatan terhadap sesama warganegara tanpa membedakan asal-usul dan
latar belakang sosial-budaya, kesukubangsaan, keagamaan, kedaerahan dan rasial.
Pendidikan sekolah juga dapat berfungsi sebagai
peredam potensi konflik dalam masyarakat
majemuk dengan multi kulurnya, apabila diselenggarakan dengan benar dan secara
berkesinambungan.
Betapa pun masyarakat harus siap
menghadapi perubahan sosial budaya yang diniati dan mulai dilaksanakan dengan
reformasi yang mengandung makna perkembangan ke arah perbaikan tatanan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: pendidikan tranformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Hal ini dapat dideskripsikan bahwa perubahan sosial tentu membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya.Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya kontra ideology hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.
Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: pendidikan tranformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Hal ini dapat dideskripsikan bahwa perubahan sosial tentu membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya.Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya kontra ideology hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.
Paulo Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan
Kritis, mempunyai pendapat cemerlang perihal pendidikan dan kaitannya dengan
perubahan sosial. Dalam bentuknya yang paling ideal, menurut Freire, pendidikan
membangkitkan kesadaran (conscientizacao) diri manusia sebagai subjek. Dengan
kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat memerankan liberative action.
Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan
kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi intersubjektif rakyat dapat
memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih demokratis.
Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya
kondusif bagi humanisme dan pembebasan.
Secara konseptual, ada tiga paradigma pendidikan
yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang menjadi pijakan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berdampak sangat serius terhadap
perubahan sosial.
Pertama, paradigma konservatif. Paradigma ini
berangkat dari asumsi bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu
keharusan alami, mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan
sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang
harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara
saja. Pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan
perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif
tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi
mereka. Mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum
tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka
sendiri. Karena toh banyak orang yang bisa bekerja keras dan berhasil meraih
sesuatu. Banyak orang bersekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh
karenanya tidak dipenjara.
Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk
menunggu sampai giliran mereka datang, karena akhirnya semua orang akan
mencapai kebebasan dan kebahagiaan kelak. Paham konservatif hanya melihat
pentingnya harmoni serta menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Sebagian besar penyelenggaraan sekolah yang
dikelola oleh kaum tradisionalis berangkat dari paradigma konservatif ini. Penyelenggaraan sekolah
atau madrasah dalam perspektif dan paradigma konservatif memang terisolasi dari
persoalan persoalan kelas maupun gender ataupun persoalan ketidak adilan di
masyarakat. Kurikulum sekolah secara jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada
kaitannya dengan sistem dan struktur sosial diluar sekolah, seperti sistem
kapitalisme yang tidak adil. Kedua paradigma pendidikan Liberal. Kaum
Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka
pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat.
Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk
masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang
senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural).
Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang
menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem.
Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi
sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila
keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat.
Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas
usaha reformasi ‘kosmetik’ seperti perlunya: membangun gedung baru,
memoderenkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode
pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental
learning dan sebagainya.
Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan
gender dalam masyarakat.
Akar dari pendidikan
semacam dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu
pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan
(freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga
stabilitas jangka panjang.
Yang terakhir adalah
paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena
perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif pendidikan bertujuan untuk
menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal ditujukan untuk perubahan
moderat dan acapkali juga pro status quo, maka bagi penganut paradigma kritis
menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi
masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus
mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta
didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan
menganalisis secara bebas dan kritis diri dan
struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial.
Perspektif ini tentu
mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam
posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak,
mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan
pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal,
menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (banking system).
Tiga paradigma diatas
masing-masing membawa dampak berupa karakter
kesadaran manusia yang oleh Freire digolongkan menjadi tiga.
Pertama kesadaran magis,
yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu
faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu
melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra
natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika
proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah
maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai
pendidikan fatalistik. Proses pendidikan lebih merupakan proses menirukan,
dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan pendangan guru. Proses
pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim
dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat.Murid secara dogmatik
menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’
ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Paradigma tradisional
yang menggunakan paham pendidikan dan sekolah konservatif dapat dikatagorikan dalam kesadaran ini.
Kesadaran kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’, dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan.
Kesadaran kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’, dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan.
Pendidikan dalam konteks
ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur
yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’; dan oleh sebab
itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas sekolah adalah bagaimana membuat dan
mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar
tersebut. Paradigma umat modernis yang menggunakan paham pendidikan liberal
dapat dikatagorikan kedalam kesadaran naïf ini.
Kesadaran ketiga disebut
sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur
sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims”
dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim
sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat.
Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi
‘ketidakadilan’ dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan
analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta bagaimana
mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah
menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu
proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Paradigma umat Islam transformatif yang menggunakan model pendidikan kritis
dapat dikatagorikan kedalam kesadaran kritis.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perubahan sosial adalah
situasi sosial yang di dalamnya terjadi ketidaksesuaian diantara unsur-unsur
sosial yang saling berbeda, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang
tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan.Pendidikan
dalam perubahan sosial dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan analisis
kritis yang berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru
tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil
menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis,
sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang
tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan
melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain,
terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk
memperoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,2010. Sosiologi Pendidikan . Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment