Pemburu Rente dan Kartel politik

 on Wednesday, 20 January 2016  

Demokrasi Indonesia, antara : Pemburu Rente, Kartel Politik dan Partai Kartel

Pemburu rente
Adam Smith membagi penghasilan (income) dalam tiga tipe, laba, upah dan sewa (profits, wages, and rents). Rents (sewa) adalah tipe termudah yang dapat diperoleh untuk menjadi penghasilan. Uang sewa dibayarkan untuk penggunaan seperti tanah, gedung, kantor, mobil, dimana seseorang menginginkan untuk menggunakan tetapi tidak ingin memiliki. Karena ‘sewa’ merupakan  penghasilan yang termudah dan lebih aman, maka secara alamiah orang ingin penghasilan berasal dari ‘sewa’ dari pada yang berasal dari laba atau upah. Motivasi yang disebut sebagai “pemburu rente” (“rent-seeking”),  yang  dalam konteks ini adalah sah-sah saja.
Sejak tahun 1967, teori mengenai “rent-seeking” ini dikembangkan oleh Gordon Tullock, dan istilah “rent” disini berkembang menjadi tidak dalam pengertian yang sama dengan yang dimaksudkan oleh Adam Smith. Fenomena dari rent seeking ini teridentifikasi dalam hubungannya dengan monopoli. Selanjutnya, rent seeking (pemburu rente) menjadi bermakna suatu proses dimana seseorang atau sebuah perusahaan mencari keuntungan melalui manipulasi dari situasi ekonomi (politik, aturan-aturan, regulasi, tariff  dll) daripada melalui perdagangan. Istilah rent seeking sendiri pertama kali diperkenalkan  oleh Anne Krueger pada tahun 1973 dalam tulisan yang mengulas tentang pemikiran Gordon Tullock. Menurut Didik J Rachbani, “perburuan rente ekonomi  terjadi ketika seorang pengusaha atau perusahaan mengambil manfaat atau nilai yang tidak dikompensasikan dari yang lain dengan melakukan manipulasi pada lingkungan usaha atau bisnis. Manipulasi pada lingkungan usaha tersebut juga terjadi, karena perebutan monopoli atas aturan main atau regulasi. Karena itu, pelaku usaha yang melobi untuk mempengaruhi aturan lebih memihak dirinya dengan pengorbanan pihak lainnya disebut pemburu rente (“rent seekers”). Praktik berburu rente ekonomi juga diasosiasikan dengan usaha untuk mengatur regulasi ekonomi melalui lobi kepada pemerintah dan parlemen. Penetapan tariff oleh pemerintah untuk kelompok bisnis juga merupakan bagian dari praktik tersebut. Hal yang sama dalam pemberian monopoli impor gandum, beras, gula, dan sejenisnya merupakan bagian dari praktik perburuan rente ekonomi”  (Suara Merdeka, 28 November 2005).
Kompas, 26 Maret 2004, memuat berita dengan judul “Impor Gula Dikerubuti Pemburu Rente”, menunjukkan bahwa ekonom Indonesia juga tidak lepas dari apa yang disebut sebagai para pemburu rente ini. “Saya tahu fee yang mereka terima, tanpa kerja keras. Ada pedagang yang takut berhadapan dengan petani sehingga menggunakan jasa pemburu rente,” Demikian dikutip hasil wawancara dari seorang sumber dalam berita tersebut. Dan jika dirunut ke belakang, maka masalah pemburu rente ini akan semakin terlihat jelas mewarnai perkembangan ekonomi selama Orde Baru (yang ‘bablas” sampai  masa setelah pak Harto turun). Herry B Priyono (2000) , menunjuk tulisan dari Robinson, Indonesia : The Rise of Capital,  menuliskan :”Kaum kapitalis di Indonesia bukan para borjuis yang independent dari pemerintah, melainkan para pejabat Negara sendiri, para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta pedagang Cina yang dekat dengan mereka. Kelahiran mereka sebagai kaum kapitalis berasal dari penguasaan mereka atas monopoli, kontrak dan koneksi dalam proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Dari situ mereka berkembang menjadi para pangeran bisnis yang sekarang kita kenal”.
Menurut Yoshihara Kunio (1990), pemerintahan dictator telah merupakan lahan paling subur bagi para pemburu rente di Asia Tenggara, karena, berhubung tidak adanya pengawasan yang efektif terhadap kekuasaan politik dalam system ini, maka pemerintah dapat menempatkan berbagai sumber daya berada di bawah pengawasannya atau bebas melakukan intervensi perekonomian. Dari sudut pandang para kapitalis yang berambisi besar, memburu-rente merupakan strategi yang paling logis karena pemerintah tidak hanya memegang kekuasaannya dengan leluasa, tetapi juga menguasai sejumlah modal besar sekali melalui bank-bank dan perusahaan-perusahaan negara lainnya (sebagian besar dari capital ini adalah uang hasil minyak) Apa yang dapat mereka berikan adalah apa yang dapat mereka lakukan dengan kekuasaan politik mereka. Hal itu dapat berupa lisensi pemerintah, proyek pekerjaan umum, pinjaman dari lembaga keuangan pemerintah, proteksi dari kompetisi asing, alokasi devisa, konversi lahan, konsensi kayu-gelondongan, atau penambangan, monopoli, persetujuan pemerintah, atau apa saja yang bernilai ekonomis yang dapat diberikan pemerintah.
Kartel ekonomi
“People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or some contrivance to raise prices”, demikian Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) telah memperingat- kan tentang kemungkinan munculnya kartel. Suatu kartel dibuat oleh beberapa group perusahaan yang memproduksi dan menjual barang yang sama untuk tujuan yang sifatnya monopolistic. Kartel bertujuan untuk mendapatkan untung dari monopoli dengan membuat pembatasan output dan dengan demikian mengendalikan harga diatas level yang berlaku jika kompetisi dibiarkan berjalan.
Hak patent dalam perkembangannya telah menjadi salah satu alat utama dalam membangun suatu kartel. Edwin J Prindle, seorang lawyer patent AS menekankan bahwa korporat telah melihat system patent sebagai alat fundamental dalam bisnis. “Patent merupakan hal yang terbaik dan paling efektif untuk mengontrol kompetisi…” Pada abad ke 19, hampir semua hak patent dimiliki oleh individual, tetapi mulai awal abad 20, sebagian besar hak paten dimiliki oleh industri-industri besar. Kartel yang berbasis patent ini, pada awalnya  paling banyak terjadi di bidang industri kimia dan farmasi. Penemuan penisilin dan sulphanilamide membuka suatu era keajaiban obat-obatan setelah perang dunia II. Perusahaan seperti Pfizer, Bristol, Parke Davis dan Merck sibuk me-matentkan antibiotic karena mereka melihat apa yang bisa diperbuat pasar dalam harga obat seperti penisilin, dimana ketika sudah tidak dalam patent, harga penisilin dari seharga US$ 3,955 setiap poundnya pada tahun 1945 menjadi US$ 282 setiap poundnya, hanya dalam waktu lima tahun kemudian.
UU RI No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada Bab III (Perjanjian Yang Dilarang), bagian kelima disebutkan Kartel sebagai bagian dari perjanjian yang dilarang. Disebutkan pada  pasal 11, yang merupakan satu-satunya pasal dalam bagian kelima tersebut : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli & atau persaingan usaha tidak sehat”
Undang-Undang No 5/1999 ini,  akhir-akhir ini mendapatkan sorotan terutama dikaitkan dengan adanya indikasi telah terjadinya kartel dalam sector telekomunikasi, yang berimplikasi pada tingginya tarif ponsel di Indonesia (Koran SINDO, 28/6/2007).  Kajian Indef menunjukkan, pasar telepon seluler di Indonesia didominasi dua operator, yaitu PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk, dengan penguasaan pangsa 84,4 % pasar telepon seluler GSM. Anggota BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) Heru Sutadi mengatakan, pihaknya sudah memiliki bukti awal perjanjian kerjasama antar operator berkenaan dengan penarifan layanan selulernya, baik itu layanan pesan pendek (SMS) maupun layanan suara. Ia memberi contoh bahwa tarif  layanan SMS antar operator berdasarkan perhitungan berbasis biaya besarnya hanya Rp 74,-. “Tapi ada dugaan operator telekomunikasi telah bersepakat untuk menetapkan tariff SMS antar operator paling rendah Rp 250,-.”
Pembentukan suatu kartel  juga dapat merupakan strategi dalam menghadapi pesaing yang kuat. Contoh adalah ketika para peritel kecil menghadapi peritel besar. Para peritel besar bisa menekan harga karena pembelian dalam jumlah besar pada pemasok memungkinkan adanya diskon yang besar, sedangkan peritel kecil tidak mungkin melakukan hal tersebut jika melakukan pembelian pada pemasok secara sendiri-sendiri. Menurut UU no 5/1999, pengusaha kecil merupakan pengecualian dari undang-undang tersebut, sehingga para peritel kecil tersebut dimungkinkan membentuk suatu kartel pembelian untuk memperoleh harga pembelian yang kompetitif atau dengan diskon besar. Ini akan menolong mereka dalam persaingan harga jual kepada konsumennya.
Aliansi strategis
Ada bentuk kerjasama yang bukan kartel, tetapi memang kadang sering disalah mengerti sebagai kartel, sehingga diperlukan investigasi, apakah kerjasama tersebut mengarah pada pembentukan suatu kartel atau tidak. Bentuk kerjasama sama itu adalah : aliansi strategis. Secara sederhana, aliansi strategis dapat didefinisikan sebagai kerjasama antara dua atau lebih pelaku usaha yang mana masing-masing berdiri sendiri, yang bertujuan untuk menyatukan kekuatan masing-masing di dalam usaha masing-masing pula.
Salah satu ciri khas dari aliansi strategis adalah, bahwa antara partner dalam rangka kerjasama itu menjamin akses kepada potensi persaingan yang relevan. Jadi, dapat direalisasikan bersama-sama kelebihan-kelebihan persaingan relevan yang strategis dan dengan demikian dijamin potensi keberhasilan bidang usaha masing-masing.  Bentuk-bentuk dasar aliansi strategis dapat diurutkan sesuai dengan kekuatan ikatannya yang semakin meningkat, yaitu perjanjian kerjasama, franchise dan lisensi, perjajian original equipment manufacturer (OEM), akuisisi, joint-venture, dan cross sharing. (lih, Udin Silalahi, Sinar Harapan, 6/08/2001).
Aliansi strategis bisa menjadi entitas yang anti kompetisi atau mengarah menjadi suatu kartel jika kesepakatan-kesepakatannya mengarah kepada suatu pematokan harga (misal dalam kasus tariff SMS yang dihitung biaya dasarnya  hanya Rp 74 / SMS, tetapi ada kesepakatan antar operator untuk menetapkan tariff minimal Rp 250 / SMS), pembagian pasar atau mengurangi output produksi, membuat kekuatan pasar yang bertujuan menaikkan harga, menghambat pendatang baru, mengurangi kemungkinan inovasi dengan menyingkirkan competitor atau menghambat akses fasilitas yang esensial( misalnya  seperti jalur pipa penyalur atau jaringan pembayaran ) (lih, Strategic alliance or cartel? www.fasken.com)
Kartel politik ?
Sarwono Kusumaatmaja dalam wawancaranya dengan Republika (24/06/2007) berkaitan dengan pilkada DKI Jaya 2007, menyebut istilah kartel politik. “Jadi, apa yang terjadi di partai politik ialah gejala kartel politik, dimana politik itu menganut logika pasar. Kalau pasarnya dikuasai oleh kartel, tidak ada kompetitornya, tentu ongkos politiknya jadi tinggi …” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh Sarwono adalah, segelintir orang, para elit partai – lintas partai,  membuat kesepakatan-kesepakatan yang ujung-ujungnya adalah dekat dengan perilaku sebagai suatu kartel.
Pada tahun 1990, dalam sebuah wawancara dengan majalah Multinational Monitor (Vol 11 No 12, Desember 1990), Pedro Galindo, Sekretaris Jendral Federasi Pekerja Petroleom Kolombia yang mempunyai anggota 12.000 orang, mengatakan bahwa kekayaan alam di Kolombia telah dikuasai oleh semacam kartel multinational. Kartel tersebut, yang  disebut sebagai “seven sisters” (Shell, Gulf, British Petroleum, Chevron, PetroCanada, Amoco, Occidental Petroleum), menguasai sebagian besar kekayaan alam Kolombia ,terutama kekayaan alam yang tidak terbarui, seperti minyak dan  batu bara. Pada akhirnya, seluruh kehidupan politik juga terpengaruh dan ditentutan oleh kegiatan kartel. Kartel adalah pemain utama dalam politik. Dan yang menjadi parameter keberhasilan utama adalah kepentingan ekonomi kartel, bukan kesejahteraan seluruh rakyat atau warga negara.
Beberapa bulan yang lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar menjadi berita utama media dengan kegiatan bersamanya di Medan. Banyak dugaan atau analisa mengenai kepentingan dibalik pertemuan itu. Tetapi jika dilihat lebih jauh, pertemuan tersebut harus pula dimaknai sebagai kemungkinan dibentuknya suatu kartel politik. Dilihat kemungkinan situasi politik yang berkembang pada tahun 2009, khususnya dalam pemilihan presiden, bagaimanapun juga posisi Susilo Bambang Yudoyono sebagai salah satu kandidat presiden adalah cukup kuat. Realitas bahwa kebanyakan pemilih di Indonesia merupakan massa dengan memori pendek, artinya segala kegagalan atau reputasi buruk di masa lalu, bisa terhapus dalam waktu singkat, membuat ini dapat sebagai salah satu pertimbangan, SBY tetap dipandang sebagai satu calon kuat, meski polling atau penilaian saat ini banyak angka merah bagi SBY.
Perkiraan masih kuatnya SBY sebagai kandidat calon presiden di tahun 2009 membuat competitor atau calon competitor harus membuat persiapan sejak dini. Dan pertemuan Medan antara PDIP dan Partai Golkar terjadi karena ada kegamangan dalam diri mereka dalam menghadapi SBY di tahun 2009, akan mampukah mereka mengalahkannya jika berjalan sendiri-sendiri ? Suatu bentuk kerjasama dalam politik adalah sah-sah saja karena  salah satu seni dalam politik adalah seni membangun kerjasama atau sekutu. Hanya saja kerjasama yang mungkin dimaksudkan sebagai suatu “aliansi strategis”, bagaimana jika ternyata berujung pada suatu bentuk kartel (politik)?
Jika PDIP dan Partai Golkar bersatu dalam parlemen, maka akan ada cukup kursi bagi mereka untuk menjadi mayoritas dalam parlemen. Mereka dapat membentuk suatu kartel, dimana melalui parlemen dapat dibuat kesepakatan-kesepakatan yang mengarah pada monopoli dengan membuat keputusan-keputusan, seperti meningkatkan batas prosentase kursi dimana suatu partai / kelompok partai  dapat mencalonkan presiden atau yg lainnya.
Apa yang salah dengan ini ? Masalahnya adalah, ketika dalam politik terbentuk suatu kartel politik, dan anggota kartel tersebut secara bersama-sama berperan seperti layaknya CEO (manager perusahaan) dari suatu kehidupan politik (yang menyangkut harkat, martabat, dan kesejahteraan orang banyak), maka sangat mungkin apa yang dikatakan oleh Milton Friedman (salah satu gurunya Neoliberalisme), ketika menanggapi dengan sinis maraknya wacana Corporate Social Responsibility (CSR), yang pada intinya adalah “satu-satunya moralitas bagi CEO dalam perusahaan adalah bagaimana memperbesar deviden (pembagian keuntungan) bagi para pemegang saham”, akan terjadi dalam dinamika perpolitikan di Indonesia. Milton Friedman, dalam The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits (The New york Times Magazine, September 13, 1970) menuliskan  :”… dalam kapasitasnya sebagai eksekutif korporasi, manager adalah  sebagai agen dari individu-individu pemilik korporasi, dan responsibility utama adalah pada mereka” dan selanjutnya dikatakan ”adalah satu dan hanya satu tanggung jawab social dari bisnis – untuk menggunakan sumberdaya-sumberdayanya dan menggunakan- nya dalam akktifitas yang terencana untuk menaikkan laba …” ( “…there is one and only one social responsibilitiy of business – to use it resources and engage in activites designed to increase its profits …” ) 
Apalagi jika dibelakang kartel politik tersebut adalah kartel ekonomi, dan indikasi mengenai hal tersebut adalah cukup beralasan. Maka, ketika kepentingan “pemegang saham kartel” merupakan satu – satunya moralitas para “manager kartel politik”, bisa dipastikan kepentingan rakyat, yang sebenarnya merupakan “pemegang saham mayoritas” kehidupan politik, akan menjadi terpinggirkan.
Dalam hal bertemunya PDIP dan Partai Golkar di Medan, cerita mengenai terancamnya NKRI sebagai salah satu dasar perlunya kedua partai itu bertemu, perlu pembuktian dalam perjalanan sejarah nantinya. Hanya saja ketika NKRI hanya dimengerti sebagai kata benda saja, maka cerita selanjutnya akan dengan mudah ditebak, atau paling tidak bisa dikatakan itu hanya akan berhenti pada isu separatisme saja. Harusnya NKRI juga diletakkan sebagai kata kerja, jadi NKRI juga merupakan hal yang dinamis, hidup, sehingga NKRI tidak hanya berarti teritori, tetapi bagaimana teritori tersebut dapat merupakan sumber kesejahteraan, sumber kehidupan bagi siapa saja yang hidup di bumi Indonesia. NKRI harus menjadi “ibu pertiwi” yang mampu memberikan “air susu”nya kepada anak-anak bangsa. Tidak ada isu yang signifikan terkait dengan NKRI yang muncul dalam pertemuan Medan tersebut, yang bisa dijadikan indikasi dimana konsep teritori juga diletakkan diatas isu kesejahteraan. Tidak ada indicator tentang hal itu yang dapat ditangkap. Jadi, bukan NKRI, tetapi “kartel politik”-lah isu utamanya.
Partai kartel
Richard S. Katz dan Peter Mair mengatakan bahwa pada periode – periode ini ,  partai politik dalam kaitannya  antara masyarakat sipil dan Negara, telah muncul suatu model partai baru, yaitu partai kartel, dimana partai “berkolusi” menjadi agen dari Negara dan menggunakan sumberdaya-sumberdaya negara (partai Negara) untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap bisa eksis. (Richard S. Katz, Peter Mair, Changing Models of Party Organization and Party Democracy, Party Politics, Vol 1, No. 1, 1995)
Model partai kartel ini merupakan model yang berkembang setelah analisa model-model partai diungkap oleh beberapa pengamat sebelumnya, seperti model partai kader (mulai berkembang tahun 1860-1920 – dianalisa  oleh Maurice Duverger), partai massa (mulai berkembang tahun 1880 – 1950 – dianalisa oleh Maurice Duverger). Neumann (1956) membedakan partai sebagai  “parties of individual representation” dan “parties of democratic (mass) integration”. Partai “catch-all” / Catch-All Parties (mulai berkembang tahun 1950 sampai sekarang – dianalisa oleh Otto Kircheimer) dan catch-all parties ini dalam perkembangan selanjutnya memunculkan model baru yaitu partai kartel (dianalisa oleh Richard S. Katz dan Peter Mair).  Panebianco (1988) juga mengembangkan spesifikasi-spesifikasi  partai “catch-all” dari Kirchhmeimer ini dalam bentuk-bentuk pengorganisasiannya, sebagai “the mass-bureaucratic party” (ekuivalen dengan dengan partai massa-nya Durverger dan“parties of democratic (mass) integration”-nya Neumann) dan “the electoral-professional party”. Sebenarnya sudah ada juga yang menangkap bentuk model partai baru, yang disebut sebagai “business-firm parties”, dimana seorang “entrepenur politik” menggunakan partai sebagai mesin personalnya.(Hopkin & Paolucci, 1999).
Partai kader, menurut Burke, merupakan sekelompok orang yang memperjuangkan kepentingan public. Partai kader didominasi oleh elit partai tetapi dengan akuntabilitas yang tinggi kepada strata partai dibawahnya. Keanggotaan partai biasanyanya terbatas. Keanggotaan yang terbatas ini bisa saja tidak terjadi, dalam arti partai kader bisa mempunyai anggota yang banyak, seperti partai Konservatif Inggris, tetapi tetap saja karakteristiknya didominasi oleh kelompok yang relative kecil sebagai pusatnya. Dan pembiayaan organisasi menyandarkan diri pada donatur-donatur. Partai kader ini kadang disebut juga sebagai elite-centered party. Tetapi meskipun begitu, ada garansi dalam kehidupan demokrasi internal partai. Partai massa (mass membership parties) dalam programnya mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok social dan keanggotaannya bersandar pada masukan dari kelompok-kelompok social tersebut. Keanggotaan organisasinya luas dan anggota-anggota mempunyai tanggung jawab yang signifikan. Lebih merupakan mobilisasi dan pembiayaan organisasi lebih bersandar pada anggota-anggota daripada donasi-donasi besar.
Cacth-all party , sering juga disebut “big tent party” [tent : kemah, tenda] berkembang terutama dimulai dari Amerika Serikat. Berkembangnya Catch-all party [catchall : tempat untuk segala macam barang] , menurut Kirchheimer didasarkan pada kondisi partai cenderung menjadi semakin elitis dan perbedaan ideology antara partai-partai semakin berkurang. Selain itu perluasan hak pilih menunjukkan bahwa demokrasi politik semakin mapan. Pada saat yang bersamaan, dengan meningkatnya standard kehidupan maka ikatan kelas secara tradisional semakin berkurang. Pada awalnya, pemilihan umum lebih terkait pada mobilisasi, tetapi pada perkembangan selanjutnya persuasi memegang peranan yang penting. Kelompok-kelompok social yang tidak terjangkau oleh partai menjadi mungkin tergapai melalui persuasi yang difasilitasi oleh berbagai media. Logikanya adalah politik masuk dalam pasar politik dan prioritas model partai ini adalah memaksimalkan jumlah pemilih. Ketika partai lebih focus pada menjaring pemilih, dan itu berjalan dengan baik, Kirchheimer  kawatir bahwa hal tersebut berakibat juga tidak tercapainya aspek pendidikan kepada masyarakat / warga negara .
Dalam model “cacth-all party”, partai merupakan broker antara masyarakat sipil dan Negara. “On one hand, parties aggregate and present demands from civil society to the state bureaucracy, while on the other they are agents of that bureaucracy  in defending policies to the public” (Katz & Mair, 1995).
Menurut Leon D. Epstein, model cacth-all party ini merupakan model “contagion from the right” (bersumber dari kanan), yang berarti juga bahwa model pengorganisasian partai “non-sosialis”-lah yang akan berlaku. Berlawanan dengan Duverger yang menganggap partai perlu anggota aktif untuk menjadi kompetitif, Epstein berpendapat bahwa partai tidak perlu menyediakan banyak anggota atau aktifis yang berpengaruh. Perkembangan media, polling-polling opini dan technologi secara umum telah berakibat menjadi tidak praktis dan terlalu beresiko untuk memenangkan pemilihan berdasarkan keanggotaan yang banyak. Anggota juga tidak bisa diprediksi, dan merupakan perekrut suara yang tidak efisien. Epstein juga tidak kawatir seperti Kirchheimer mengenai berkembangnya cacth-all party  ini. Perkembangan partai model ini dipandang positif oleh Epstein.
Richard S. Katz dan Peter Mair menganalisa partai kartel tidak lepas dari konsep yang dikembangkan oleh Panebianco mengenai “the electoral professional party”. Dengan berkembangnya “electoral professionalism”, partai semakin hanya memerlukan sedikit anggota. Pada saat yang bersamaan, biaya yang diperlukan semakin meningkat, dan ini berkorelasi dengan pandangan bahwa anggota partai hanya sedikit relevan dalam usaha memenangkan pemilihan. Cara-cara pemenangan pemilihan bergeser dari partisipasi massa ke marketing dalam media. Blok-blok perkumpulan / perserikatan menjadi kurang berharga dibandingkan dengan masuknya surat kabar, tayangan televisi dan donasi-donasi besar. Pada titik pembiayaan inilah, model cacth-all party mengalami permasalahan, dan bersamaan dengan itu mulailah berkembang yang disebut di atas, yaitu model partai kartel.
Terbentuknya partai kartel ini memberikan pengaruh pada pemilihan umum. Seperti yang diungkapkan oleh Katz & Mair (1995), “menang atau kalah dalam pemilihan hanya membuat sedikit perbedaan pada tujuan politik partai karena tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan, tetapi dapat dibuat perjanjian yang baik berkaitan dengan survival partai dimana sumberdaya-nya banyak berasal dari negara” Gambaran kompetisi pemilihan umum dalam situasi kartel ini adalah “tertahan” dan dimanage. “Certainly, the parties still compete, but they do so in the knowledge that they share with their competitors a mutual interest in collective organizational survival … Stability becomes more important than triumph”.
Program partai dalam situasi partai kartel ini akan semakin mirip antara satu partai dengan partai lain. Pada akhirnya akan semakin nampak bahwa partai semakin kurang memerlukan program partai dalam pengertian tradisionalnya, tidak akan ditemui lagi narasi ideology yang memberikan identitas kolektif bagi partai dan pendukungnya dan tugas – tugas atau apa yang akan diperbuat jika nantinya merebut kekuasaan untuk memerintah. Model partai kartel ini bertujuan untuk stabilitas dan pada akhirnya akan menjadi pendukung status quo.
Pemilihan demokratik bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi warga Negara untuk mengganti politisi yang dibawah performa dengan alternative lain sesuai pilihan warga Negara. Tetapi pemimpin-pemimpin partai-partai besar dapat melindungi diri mereka sendiri dari pertanggung jawaban dalam pemilihan dengan berkolusi untuk berbagi kekuasaan diantara mereka. Bahkan ketika mereka kalah dalam pemilihan, mereka tidak menjadi kehilangan kekuasaan. (Dan Slater, 2006)
Demokrasi di Indonesia
Samuel P Huntington , dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga, menegaskan bahwa demokrasi yang dianutnya berdasarkan tradisi demokrasi a la Joseph Schumpeter. Menurutnya, sebuah Negara dikategorisasikan “..sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam system itu dipilih melalui jalur pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam system itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara” .Dari pendapat di atas, dapat dilihat bahwa esensi demokrasi ditandai oleh adanya “kompetisi dan partisipasi dalam pemilu”. Paradigma Schumpeterian ini  mendapat gugat- an dari Robert A. Dahl, yang menyebutnya sebagai demokrasi formal / demokrasi minimal atau dalam istilah Larry Jay Diamond disebut sebagai demokrasi electoral. (Coen, 2005).
Menurut Coen Husain Pontoh (2005), rejim Orde Baru adalah contoh terbaik dari apa yang dikenal dengan istilah “pseudo”, atau “quasi” demokrasi. Negara menganut system multi partai, melakukan pemilu secara berkala, tetapi tidak mengakui kebebasan sipil dan politik, ekonomi, social dan budaya warga negaranya. Pemilu dan system multipartai eksis hanya untuk menunjukkan bahwa ciri-ciri Negara demokrasi melekat pada rejim tersebut. Atau dalam istilah Gus Dur, demokrasi selama rejim Orde Baru adalah “demokrasi seolah-olah”.
Demokrasi “seolah-olah” ini telah dengan sukses menyelubungi hakekat otoriter rejim Orde Baru (selain sifat represifnya) , dan juga sekaligus menebar lahan yang subur bagi berkembangnya ekonomi pemburu rente. Meskipun ekonomi pemburu rente ini bukan khas gejala di Indonesia saja, atau di Asia Tenggara saja, dan di belahan dunia lain gejala ini juga sudah lama diidentifikasi, tetapi yang terjadi di Indonesia, ekonomi pemburu rente selama rejim Orde Baru grafiknya menunjukkan selalu meningkat, tidak pernah ada tanda-tanda penurunan. Selain itu berkembangnya kelompok oligarki memberikan juga pupuk yang menyuburkan ekonomi pemburu rente ini. Korupsi, oligarki, pemburu rente ternyata tidak berhenti dengan tumbangnya  rejim Orde Baru, seperti yang dikatakan oleh Jeffry Winters, tumbangnya suatu rejim otoriter itu tidak sama dengan tumbangnya oligarkinya.
Masuknya Indonesia dalam era reformasi harus dimaknai sebagai masuknya Indonesia dalam gelombang globalisasi fase 3 (lihat Belajar Dari Sejarah Pergerakan, Praxis ed. 7/2007), yang wajah dan logika yang dibawa berbeda dengan globalisasi fase 1 dan 2.  Globalisasi yang menghantam rejim Orde Baru dan mendorong bangsa Indonesia masuk era reformasi juga membawa berbagai macam proyek, salah satunya adalah proyek demokratisasi. Maka, demokrasi yang dikembangkan selama era reformasi inipun tidak akan lepas dari konsep demokrasi yang dikembangkan kaum neoliberalis. Proyek-proyek demokratisasipun mendapatkan bantuan dalam pembiayaan, seperti bantuan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, “voter’s education”, “clean government” serta tertib hukum tanpa mempersoalkan siapa yang ada dibalik ketetapan hukum itu. (lih, Wacana, ed 2, th I 1999). Apakah proyek demokratisasi ini berhasil mengkonsolidasikan demokrasi di Indonesia sehingga kesejahteraan rakyat semakin meningkat ? Mungkin bisa sebagai perbandingan, tentang demokrasi pada era Boris Yeltsin di Russia, pasca perang dingin.
Coen Husain Pontoh menuliskan bahwa di bawah pemerintahan baru yang mengatas- namakan demokrasi, rakyat Rusia memang memiliki kebebasan, tapi tidak memiliki pilihan; mereka memiliki kekuasaan untuk mengontrol pemimpinnya dan memutuskan kebijakan yang sesuai dengan kepentingannya.
Menurut Thomas Carothes dalam artikelnya The End of the Transition Paradigm, system politik Rusia tidak berujung pada konsolidasi demokrasi, melainkan terjatuh pada zona politik abu-abu (political grey zaone), karena menderita sindrom “Dominat-Power Politics”. Sindrom ini menyebabkan terjadinya kekaburan antara kekuasaan Negara dan partai berkuasa (atau kekuatan politik yang berkuasa). Secara teoritis dan praktis, Negara-negara merupakan asset utama – Negara menjadi sumber uang, pekerjaan, informasi public (melalui media Negara), dan kebijakan kekuasaan – di mana secara bertahap asset-aset tersebut ditempatkan untuk melayani secara langsung partai yang berkuasa. Akibatnya, korupsi dalam skala besar-besaran tak terhindarkan, kroni kapitalisme menggejala di kalangan elite, dan pelanggaran hak-hak sipil dan politik kembali terjadi.
Demokrasi hanya muncul pada saat-saat pemilu, sementara pemerintahan sehari-hari dikuasai oleh – apa yang disebut Aleksander Solzhenitsyn, pemenang hadiah nobel perdamaian – pemerintahan para oligarkh. “Ini bukan demokrasi, lebih tepat disebut sebagai oligarki…kekuasaan yang terbatas pada kelompok-kelompok individual”(Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Resist Book, 2005, hal 83-84).
Gambaran demokrasi yang berkembang di Indonesia, sampai sekarang ini tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi di Rusia era Boris Yeltsin. Transisi demokrasi justru menghasilkan berkembangnya kartel politik, yang  pada akhirnya juga mengembangkan partai kartel. Menurut Dan Slater (2006), hal ini disebabkan karena jaringan informal yang berkembang selama rejim Orde Baru (para pemburu rente, oligarkh Orde Baru - pen), mampu tetap hidup dan berubah pada institusi-institusi formal baru bersamaan dengan kematian rejim otoriter. Apa yang disebut sebagai partai oposisi di era Orde Baru pada kenyataannya telah secara mendalam ter-infiltrasi oleh para pendukung rejim Orde Baru. Bahkan tiga figure yang kritis terhadap kediktaktoran Soeharto, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Megawati Sukarnoputri, kadang-kadang berada di “pihak Soeharto” dari pada secara konstan sebagi duri-nya Soeharto. Mereka kadang membangung hubungan dengan banyak figure dalam militer dan partai Golkar. Satu dugaan dimulainya kartel politik seperti yang terjadi pada awal bulan Januari 1999, ketika Jendral Wiranto memanggil Abdurrahman Wahid, Amin Rais dan Megawati, dan diantara mereka, di rumah Wiranto di Jakarta, membahas mengenai pemilihan parlemen mendatang. Dibahas juga bahwa militer tidak akan aktif membantu presiden Habibie pada khususnya dan Partai Golkar pada umumnya. Wiranto akan membantu pemilihan umum menjadi pemilihan yang bebas dan fair. Ini merupakan hal yang baik dalam pelaksanaan demokrasi yang bertanggung jawab. Tetapi sisi buruk lain adalah, partai-partai dan pimpinan militer telah membangun hubungan dibelakang layar sebelum terlibat dalam kompetisi public. Ini menjadi penting karena presiden yang akan datang akan dipilih oleh parlemen dari pada pemilihan langsung oleh rakyat. (Dan Slater, The Ironies of Instability in Indonesia, Social Analysis, Vol 50, Issue 1, 2006).
Apa yang terjadi kemudian dari hasil pemilihan umum 1999 dan terpilihnya Addurrahman Wahid sebagai presiden dan kemudian naiknya Megawati sebagai presiden, menguatkan dugaan bahwa kartel politik dan partai kartel telah berkembang seiring dengan proyek demokratisasi di Indonesia.
Kecenderungan untuk memakai media massa, terutama televisi untuk melakukan kampanye dalam pemilihan umum semakin mengindikasikan menjauhnya pertalian partai  dengan anggota pada khusunya dan masyarakat sipil (rakyat) pada umumnya. Alokasi biaya kampanye akan lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan media massa.  Memang, dalam perjalanan sejarahnya, politik telah berkembang menjadi politik informasional, dimana politik terbingkai oleh media elektronik modern yang tekhnologinya telah berkembang pesat, dan media elektronik telah menjadi ruang politik utama. Oleh Manuel Castell dikatakan bahwa ini bukan berarti media elektronik mendominasi  kehidupan politik, namun logika dan organisasi media  elektronik menjadi bingkai dan struktur politik.
Yang menjadi masalah di Indonesia (dan juga di Amerika Serikat, misalnya), media elektronik utama, televisi, kepemilikannya juga hanya ditangan segelintir orang saja dan cenderung beroperasi seperti kartel. Coba dilihat, siapa pemegang saham ANTV, Trans TV dan Trans 7 yang baru saja merger, Indosiar, RCTI, TPI dan lainnya, dan jika itu dilihat dari keterlibatan mereka dalam politik praktis serta keterlibatan mereka sebagai pendukung rejim Orde Baru di masa lalu, maka apa yang tersaji sebagai bahan siaran TV-TV nasional tersebut akan menjadi jelas. Yang paling nampak adalah bagaimana kekerasan mendominasi tayangan, baik sebagai film, drama atau yang lain. Tetapi kekerasan terutama yang perlu dicermati adalah pada berita-beritanya (dan variannya). Sudut pengambilan gambar jika terjadi demonstrasi, setelah melalui editing, yang nampak adalah bagaimana para demonstran “ngogrek-ngogrek” pintu DPR / DPRD misalnya, dengan wajah beringas tentunya. Atau pemukulan sampai berdarah-darah. Atau kematian karena mobil terjun dari tingkat atas, yang dilacak sampai ke rumah korban, sampai dengan bagaimana penguburannya. Berita seakan menjadi tidak ada ruang untuk menyampaikan sisi lain dari kehidupan bangsa yang bernuansa prestasi atau suatu kehidupan social yang baik dari masyarakat. Berita mengenai konglomerat yang korupsi, yang melarikan trilliunan rupiah ke luar negeri, sepi dari pemberitaan. Tetapi anggota DPR/DPRD atau eksekutif yang disidangkan karena korupsi, seakan menjadi makanan sehari-hari.
Apa yang terjadi jika kekerasan setiap hari dijejalkan kepada rakyat melalui media (televisi), juga acara-acara mistik yang tidak jelas juntrungannya serta sinetron-sinetron yang terlalu sering menampilkan tokoh – tokoh  super (super kejam, super sadis, super galak, super blo’on, super ‘bejo’ dll), maka tesis Robert D Putnam bahwa berkembangnya televise telah mengurangi kualitas demokrasi ada benarnya. Tetapi bukan pertama-tama karena dengan televisi orang menjadi semakin betah di rumah, jarang kumpul dengan lingkungan, sehingga bangunan social trust sebagai dasar demokrasi tergerogoti, tetapi karena apa yang diberikan oleh televise nasional Indonesia membuat orang menjadi “lelah untuk memikirkan politik” atau juga menjadi “salah bersikap terhadap politik”, atau kadang timbul kesan, “kok dulu lebih damai ya“. Satu fenomena menarik adalah pada awal reformasi, dengan terbukanya pagar-pagar sensor Orde Baru, peristiwa-peristiwa politik telah menjadi berita utama di semua televisi nasional. Muncullah para selebriti baru yang berangkat sebagai komentator, analisator politik dalam acara-acara televisi. Di satu pihak, berita-berita  politik atau hadirnya para komentator politik menambah pengetahuan dan kesadaran rakyat tentang politik, tetapi pada saat yang bersamaan, dengan minimnya partai politik ikut menggarap langsung kesadaran politik anggota, atau konstituennya, maka peristiwa-peristiwa politik tersebut pada akhirnya berakhir sebagai tontonan film, yang habis dilihat, pelan-pelan dilupakan.
Apa yang bisa direfleksikan sejak delapan  tahun proyek demokratisasi berjalan dengan dimulainya era reformasi ? Paling tidak sampai hari ini rakyat belum juga mendapatkan manfaat demokrasi secara signifikan dari aspek keadilan dan kesejahteraannya. Apa yang ditulis oleh Noreena Herzt dalam The Silent Take Over, Global Capitalism and the Death of Democracy  nampak semakin nyata. Hasil pemilu adalah merupakan pilihan rakyat, tetapi elit politik yang terpilih tidak mau menuruti kehendak / kepentingan  rakyat yang memilih, tetapi pada kenyataannya malah menurut pada kehendak pemilik modal besar yang tidak memberikan suara pada  mereka. Partai kartel, yang juga bermain dalam ranah kartel politik, dan “pemegang saham mayoritas” dalam permainan ini adalah kartel ekonomi, berjalan seiring dengan para pemburu rente warisan Orde Baru, atau yang muncul sebagai pemain baru, yang justru semakin berkembang selama era reformasi ini. Politik yang terbingkai dalam media, berhadapan dengan kartel media. Maka, jika ini tidak menjadi perhatian segenap warga negara, untuk memahami secara kritis demokrasi a la “kartelian” ini, dengan melawan dan membangun demokrasi yang otentik, maka bukannya tidak mungkin arus balik demokratisasi akan terjadi di Indonesia.***
Greg Sudargo, Juli 2007
(Daftar Pustaka ada pada pada redaksi

Pemburu Rente dan Kartel politik 4.5 5 Unknown Wednesday, 20 January 2016 Demokrasi Indonesia, antara : Pemburu Rente, Kartel Politik dan Partai Kartel Demokrasi Indonesia, antara : Pemburu Rente, Kartel Politik dan Partai Kartel Pemburu rente Adam Smith membagi penghasilan (income) dal...


No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.